share
Saya barusan selesai membaca buku karangan KATO-san berjudul
“Indonesia di Mata Orang Jepang”. Sebagai orang Indonesia, ada semacam
rasa unik dan lucu melihat apa-apa yang biasa terjadi di sekitar kita
ternyata merupakan suatu hal baru bagi orang asing yang pertama kali ke
Indonesia. Lewat buku ini kita bisa mengetahui perspektif orang asing
terhadap budaya sosial di Indonesia. KATO-san sendiri adalah profesor di
bidang Sosiologi Agama yang melakukan penelitian tentang agama Islam di
Indonesia.
Kisah KATO-san diawali dengan perjalanannya selepas tamat bangku
kuliah, waktu tahun 1988 Jepang sedang kagum-kagumnya dengan Amerika.
Bisa dikatakan kedua negara itu sangat dekat, lagu-lagu yang populer di
Jepang adalah lagu Amerika, begitu juga tentang fashion, makanan dan
sebagainya. Karena itu setamat kuliah, beliau lantas bekerja di Amerika
selama setahun. Karena di Jepang sendiri Amerika sudah sangat populer,
dan budaya kedua negara tidak jauh berbeda. Maka KATO-san merasa biasa
saja sewaktu tinggal di Amerika. Hingga kemudian KATO-san merasa bosan
dan memutuskan untuk pindah bekerja di Jakarta.
Setibanya di Jakarta, saat itu pula KATO-san merasakan
culture shock.
Beliau merasa sulit berkomunikasi dan kerap menjadi bulan-bulanan para
penjahat. ”Di bus yang hampir tidak pernah digunakan orang asing, entah
berapa kali dompet saya dicuri. Saya bahkan pernah ditodong dengan
pisau, uang serta jam tangan saya diambil. Pernah juga uang saya dicuri
oleh pembantu di rumah. Setiap kali saya mengalami peristiwa seperti
itu, pikiran saya untuk meninggalkan negeri ini pun memenuhi benak
saya,” jelasnya.
Karena merasa sering dizalimi, ide pun muncul pada suatu ketika
KATO-san melihat pengamen di bis kota yang naik, ngamen dan turun lagi
tanpa membayar. Niat balas dendam lantas muncul, dengan mengajak
temannya yang juga orang Jepang, KATO-san kemudian mengamen di bis kota.
Dari situ beliau heran melihat sambutan orang Indonesia yang luar biasa
ketika melihat ada orang asing yang mengamen. Para penumpang pun
memberikan uang dari 500 – 1000 rupiah padahal ongkos naik bis saat itu
masih 200 rupiah. Dari situlah kemudian timbul rasa ketertarikan
terhadap budaya Indonesia.
Kangen Indonesia – Hisanori Kato
KATO-san juga pernah pura-pura tidak mendengar saat kondektur
menagih, sehingga akhirnya dia turun tanpa membayar. Bagi KATO-san ini
adalah suatu langkah agar bisa merasakan “dekat” dengan masyarakat
Jakarta.
Orang Indonesia yang luwes dan gampang menerima
Sebagai seorang Jepang yang selalu disiplin dan tepat waktu. KATO-san
mengamati budaya Indonesia yang membuatnya tertarik. Diawali ketika dia
tidak tidur karena semalaman membuat penelitian, keesokan harinya saat
mau berangkat, dia bertanya ke tukang parkir kendaraan apa yang harus
dinaiki supaya sampai ke tujuan. Saat itu dia curhat ke tukang parkir,
“Saya sekarang sedang melakukan penelitian, tapi capek sekali dan kurang
tidur.” Si tukang parkir itu menjawab, “Oh begitu. Kalau begitu
sebaiknya Anda tidur karena di belakang sini ada tempat untuk
istirahat.” Jawaban si tukang parkir membuat KATO-san kaget sekaligus
tertarik, “Ketika itu saya sedikit mengerti kenapa saya tertarik pada
Indonesia. Waktu saya mati-matian melakukan penelitian, mungkin orang
Jepang akan berkata ‘berusahalah dengan baik!’ namun orang Indonesia
mengatakan ‘jangan terburu-buru begitu!’”
Keanehan yang lain adalah ketika dia melihat orang Indonesia yang
gemar mengatakan ‘macet’ sebagai alasan. Walau terlambat berpuluh-puluh
menit, setibanya di kantor kata pertama yang terucap adalah ‘macet’. Dan
kemudian temannya pun cuma menimpali, ‘oh begitu’. Dari kacamata orang
Jepang yang selalu tepat waktu, hal ini sangatlah aneh dan baginya
alasan itu tentu tidak dapat diterima. Namun orang Indonesia bisa
menerimanya dengan baik. Itu juga yang kemudian mengingatkannya pada
realitas di Jepang dimana ada 30.000 orang bunuh diri setiap tahunnya,
yang mungkin disebabkan oleh kurang bisanya memaafkan atau menerima
kesalahan orang lain.
‘Tidak apa-apa’ dan ‘bagaimana nanti’
Saya bisa memahami kalau KATO-san yang seorang Jepang merasa sangat
sulit beradaptasi dengan kebiasaan Indonesia yang tidak menepati waktu
dan kurang teliti. Seperti yang ditulis pada bukunya, banyak hal yang
baginya ‘apa-apa’ namun bagi orang Indonesia adalah ‘tidak apa-apa’.
Contohnya mengomentari teman yang tidak menepati janji, bis yang
terlambat datang, dan customer service saat menangani internet yang
bermasalah. Pernah dia kaget ketika mendengar butuh waktu empat hari
untuk memperbaiki modemnya. Customer service seakan-akan bersikap ‘tidak
apa-apa’ terhadap masalah yang dialami KATO-san. Dan hal ini membuatnya
perlu melatih ‘kesabaran’ untuk berhadapan dengan orang Indonesia.
Ada lagi sikap orang Indonesia yang cenderung ‘bagaimana nanti’
terkesan menunda-nunda, berbeda dengan orang Jepang yang justru, ‘kalau
tidak dikerjakan sekarang,
nanti bagaimana?’ Hal ini
dialaminya ketika mempersiapkan susunan acara sebuah seminar, ketika
mengajak diskusi seorang pengajar tentang susunan acara. Si pengajar
malah berkata, ‘nanti saja’, atau ‘kita lihat dulu’. Di sini terlihat
bahwa melakukan sesuatu tanpa merencanakannya dengan rinci terlebih
dahulu merupakan ciri khas orang Indonesia. Namun yang membuatnya
tertarik, bahwa memang kita dirugikan dengan sikap, ‘tidak apa-apa’,
tetapi kita juga bisa balik mengatakan ‘tidak apa-apa’ kepada lawan
bicara dan kita pun akan dimaafkan.
Sekembalinya di Jepang, KATO-san juga menulis bahwa setelah sekian lama terbiasa dengan Indonesia dia malah mengalami
culture shock. Susunan
acara seminar di Jepang sangat tepat waktu, seperti misal pembukaan jam
07.00, kemudian pembacaan MC selesai pada pukul 07.03. Juga saat kereta
terlambat 1 menit saja
announcer langsung mengumumkan permohonan maaf dengan kata-kata ‘maaf menyusahkan’. Hal yang sangat berbeda dengan Indonesia.
Renungan untuk orang Indonesia
Ketika membaca buku ini, saya merasa lucu. Melihat bagaimana budaya
kita dipandang lewat perspektif bangsa maju. Kadang ada hal-hal yang
membuat saya ingin tertawa namun juga sekaligus sedih. Jika KATO-san
mungkin merasa hal-hal tidak menepati waktu, dan menunda-nunda bangsa
Indonesia adalah sesuatu yang unik dan menunjukkan sikap lapang dada
bangsa Indonesia. Saya malah merasa bahwa sikap-sikap seperti itu memang
suatu penyakit yang harus diubah oleh bangsa saya. Dan justru kita
harus meniru bangsa Jepang yang selalu menepati janji dan disiplin. Saya
ingin mengutip kata-kata terakhir KATO-san di bukunya, ‘kalau bisa
seperti itu bagus, tapi kalau tidak bisa ya tidak apa-apa.’