yunusst memberikan inspirasi kepada anda

Tutorial

Saturday 30 March 2013

Review Buku : Kangen Indonesia, Indonesia di Mata Orang Jepang by HISANORI KATO (加藤久典)

share

Saya barusan selesai membaca buku karangan KATO-san berjudul “Indonesia di Mata Orang Jepang”. Sebagai orang Indonesia, ada semacam rasa unik dan lucu melihat apa-apa yang biasa terjadi di sekitar kita ternyata merupakan suatu hal baru bagi orang asing yang pertama kali ke Indonesia. Lewat buku ini kita bisa mengetahui perspektif orang asing terhadap budaya sosial di Indonesia. KATO-san sendiri adalah profesor di bidang Sosiologi Agama yang melakukan penelitian tentang agama Islam di Indonesia.

Kisah KATO-san diawali dengan perjalanannya selepas tamat bangku kuliah, waktu tahun 1988 Jepang sedang kagum-kagumnya dengan Amerika. Bisa dikatakan kedua negara itu sangat dekat, lagu-lagu yang populer di Jepang adalah lagu Amerika, begitu juga tentang fashion, makanan dan sebagainya. Karena itu setamat kuliah, beliau lantas bekerja di Amerika selama setahun. Karena di Jepang sendiri Amerika sudah sangat populer, dan budaya kedua negara tidak jauh berbeda. Maka KATO-san merasa biasa saja sewaktu tinggal di Amerika. Hingga kemudian KATO-san merasa bosan dan memutuskan untuk pindah bekerja di Jakarta.
Setibanya di Jakarta, saat itu pula KATO-san merasakan culture shock. Beliau merasa sulit berkomunikasi dan kerap menjadi bulan-bulanan para penjahat. ”Di bus yang hampir tidak pernah digunakan orang asing, entah berapa kali dompet saya dicuri. Saya bahkan pernah ditodong dengan pisau, uang serta jam tangan saya diambil. Pernah juga uang saya dicuri oleh pembantu di rumah. Setiap kali saya mengalami peristiwa seperti itu, pikiran saya untuk meninggalkan negeri ini pun memenuhi benak saya,” jelasnya.
Karena merasa sering dizalimi, ide pun muncul pada suatu ketika KATO-san melihat pengamen di bis kota yang naik, ngamen dan turun lagi tanpa membayar. Niat balas dendam lantas muncul, dengan mengajak temannya yang juga orang Jepang, KATO-san kemudian mengamen di bis kota. Dari situ beliau heran melihat sambutan orang Indonesia yang luar biasa ketika melihat ada orang asing yang mengamen. Para penumpang pun memberikan uang dari 500 – 1000 rupiah padahal ongkos naik bis saat itu masih 200 rupiah. Dari situlah kemudian timbul rasa ketertarikan terhadap budaya Indonesia.
Kangen Indonesia - Hisanori KatoKangen Indonesia – Hisanori Kato
KATO-san juga pernah pura-pura tidak mendengar saat kondektur menagih, sehingga akhirnya dia turun tanpa membayar. Bagi KATO-san ini adalah suatu langkah agar bisa merasakan “dekat” dengan masyarakat Jakarta.

Orang Indonesia yang luwes dan gampang menerima

Sebagai seorang Jepang yang selalu disiplin dan tepat waktu. KATO-san mengamati budaya Indonesia yang membuatnya tertarik. Diawali ketika dia tidak tidur karena semalaman membuat penelitian, keesokan harinya saat mau berangkat, dia bertanya ke tukang parkir kendaraan apa yang harus dinaiki supaya sampai ke tujuan. Saat itu dia curhat ke tukang parkir, “Saya sekarang sedang melakukan penelitian, tapi capek sekali dan kurang tidur.” Si tukang parkir itu menjawab, “Oh begitu. Kalau begitu sebaiknya Anda tidur karena di belakang sini ada tempat untuk istirahat.” Jawaban si tukang parkir membuat KATO-san kaget sekaligus tertarik, “Ketika itu saya sedikit mengerti kenapa saya tertarik pada Indonesia. Waktu saya mati-matian melakukan penelitian, mungkin orang Jepang akan berkata ‘berusahalah dengan baik!’ namun orang Indonesia mengatakan ‘jangan terburu-buru begitu!’”

Keanehan yang lain adalah ketika dia melihat orang Indonesia yang gemar mengatakan ‘macet’ sebagai alasan. Walau terlambat berpuluh-puluh menit, setibanya di kantor kata pertama yang terucap adalah ‘macet’. Dan kemudian temannya pun cuma menimpali, ‘oh begitu’. Dari kacamata orang Jepang yang selalu tepat waktu, hal ini sangatlah aneh dan baginya alasan itu tentu tidak dapat diterima. Namun orang Indonesia bisa menerimanya dengan baik. Itu juga yang kemudian mengingatkannya pada realitas di Jepang dimana ada 30.000 orang bunuh diri setiap tahunnya, yang mungkin disebabkan oleh kurang bisanya memaafkan atau menerima kesalahan orang lain.

‘Tidak apa-apa’ dan ‘bagaimana nanti’

Saya bisa memahami kalau KATO-san yang seorang Jepang merasa sangat sulit beradaptasi dengan kebiasaan Indonesia yang tidak menepati waktu dan kurang teliti. Seperti yang ditulis pada bukunya, banyak hal yang baginya ‘apa-apa’ namun bagi orang Indonesia adalah ‘tidak apa-apa’. Contohnya mengomentari teman yang tidak menepati janji, bis yang terlambat datang, dan customer service saat menangani internet yang bermasalah. Pernah dia kaget ketika mendengar butuh waktu empat hari untuk memperbaiki modemnya. Customer service seakan-akan bersikap ‘tidak apa-apa’ terhadap masalah yang dialami KATO-san. Dan hal ini membuatnya perlu melatih ‘kesabaran’ untuk berhadapan dengan orang Indonesia.
Ada lagi sikap orang Indonesia yang cenderung ‘bagaimana nanti’ terkesan menunda-nunda, berbeda dengan orang Jepang yang justru, ‘kalau tidak dikerjakan sekarang, nanti bagaimana?’ Hal ini dialaminya ketika mempersiapkan susunan acara sebuah seminar, ketika mengajak diskusi seorang pengajar tentang susunan acara. Si pengajar malah berkata, ‘nanti saja’, atau ‘kita lihat dulu’. Di sini terlihat bahwa melakukan sesuatu tanpa merencanakannya dengan rinci terlebih dahulu merupakan ciri khas orang Indonesia. Namun yang membuatnya tertarik, bahwa memang kita dirugikan dengan sikap, ‘tidak apa-apa’, tetapi kita juga bisa balik mengatakan ‘tidak apa-apa’ kepada lawan bicara dan kita pun akan dimaafkan.
Sekembalinya di Jepang, KATO-san juga menulis bahwa setelah sekian lama terbiasa dengan Indonesia dia malah mengalami culture shock. Susunan acara seminar di Jepang sangat tepat waktu, seperti misal pembukaan jam 07.00, kemudian pembacaan MC selesai pada pukul 07.03. Juga saat kereta terlambat 1 menit saja announcer langsung mengumumkan permohonan maaf dengan kata-kata ‘maaf menyusahkan’. Hal yang sangat berbeda dengan Indonesia.

Renungan untuk orang Indonesia

Ketika membaca buku ini, saya merasa lucu. Melihat bagaimana budaya kita dipandang lewat perspektif bangsa maju. Kadang ada hal-hal yang membuat saya ingin tertawa namun juga sekaligus sedih. Jika KATO-san mungkin merasa hal-hal tidak menepati waktu, dan menunda-nunda bangsa Indonesia adalah sesuatu yang unik dan menunjukkan sikap lapang dada bangsa Indonesia. Saya malah merasa bahwa sikap-sikap seperti itu memang suatu penyakit yang harus diubah oleh bangsa saya. Dan justru kita harus meniru bangsa Jepang yang selalu menepati janji dan disiplin. Saya ingin mengutip kata-kata terakhir KATO-san di bukunya, ‘kalau bisa seperti itu bagus, tapi kalau tidak bisa ya tidak apa-apa.’
Share:

2 comments:

Jangan Lupa untuk selalu komen di blog yunusst

Translate

Arquivo do blog

Total Pageviews

Facebook