share
yunusst.blogspot.com, Bogor:
HASMI, Teroris Macam Apa Lagi? Begitulah yang mungkin tertempel di benak kita ketika Jumat kemarin (27/10/12), tepat
di saat umat Islam merayakan Idul Adha, sebuah berita terdengar cukup
menyentak. Tim Densus 88 menangkap 11 orang terduga “teroris”. Tertuduh
ditangkap pada hari yang sama di tempat yang berbeda.
Di berbagai pemberitaan disebutkan, teroris yang ditangkap adalah
dari kelompok HASMI, yaitu Harakan Sunni untuk Masyarakat Indonesia.
Nah, nama ini mirip-mirip dengans sebuah gerakan Islam yang berpusat di
Bogor pimpinan Dr. Muhammad Sarbini, M.H.I .
Kalau HASMI yang ini adalah singkatan dari Harakah Sunniyah untuk
Masyarakat Islami. Sedangkan HASMI yang ditangkap Densus disebutkan
dipimpin oleh Abu Hanifah. Siapakah dia?
Apakah HASMI Abu Hanifah dan HASMI-nya Dr. Sarbini ini sama? Atau
disama-samakan? Yang jelas, DPP HASMI melalui pernyataan sikap di situs
resminya www.hasmi.org membantah hal tersebut. Dalam
pernyataannya, Dr. Muhammad Sarbini mengatakan bahwa HASMI yang
dipimpinnya merupakan ormas Islam resmi yang terdaftar di Kemdagri
dirjen kesbangpol dengan no 01-00-00/0064/D.III.4/III/2012 yang
didirikan sejak tahun 2005. Lebih lanjut, beliau menegaskan bahwa nama
organisasi hasmi sebagaimana yang telah disebutkan dalam pemberitaan
oleh media elektronik sama sekali bukan organisasi yang dipimpinnya.
“Setahu kami yang mereka sebut adalah Harakah Sunni Untuk Masyarakat
Indonesia (Bukan Harakah Sunniyyah Untuk Masyarakat Islami. Red) dari
situ saja sudah nyata bahwa mereka telah membuat nama sendiri dan
singkatan sendiri. Tujuannya apa, niatnya apa, kami tidak mengetahuinya.
Kami tegaskan bahwa kami adalah Harakah Sunniyyah Untuk Masyarakat
Islami, yang berbeda dengan tulisan mereka Harakah Sunni Untuk
Masyarakat Indonesia,” tegas Muhammad Sarbini tersebut
Pernyataan tersebut sekaligus merupakan bantahan dari pernyataan Kepala
Divisi Humas Mabes Polri, Inspektur Jenderal Suhardi Alius, “Kami masih
kembangkan, mereka masih diperiksa densus. Nanti perkembanganya kami
beritahu ke depan. Yang pasti, mereka mengaku dari kelompok Hasmi dan
kelompok tersebut baru,” kata Suhardi.
Ketika ditanya nama-nama terduga teroris yang disebutkan Mabes Polri,
Dr. Muhammad Sarbini mengaku tidak mengenal mereka dan sama sekali bukan
anggota HASMI yang dipimpinnya.
Sambil memperlihatkan salah satu buku yang diterbitkan HASMI (Harakah
Sunniyyah Untuk Masyarakat Islami) yang berjudul Menuju Masyarakat
Islami, Dr. Muhammad Sarbini mengatakan bahwa dakwahnya anti kekerasan
dan juga mengoreksi orang-orang yang mengatakan dirinya sedang berjihad
atas nama jihad, tetapi melakukan teror di tengah masyarakat.
Memfilter Informasi, Memahami Keanehan
Ini bukan pertama kalinya Densus 88, tim elit anti teror dengan anggaran
super melakukan aksi heroiknya. Berbagai “prestasi” telah dicapai sejak
pendiriannya pada tahun 2005. Di tahun 2012 inipun berbagai kelompok
terduga teroris telah berhasil diringkusnya di berbagai penjuru tanah
air. Namun, arus deras kritik juga mengalir karena sejuta keanehan
melekat pada berbagai aksinya.
Di antaranya ialah Densus 88 nyaris selalu menangkap terduga teroris.
Garis bawahi kata “terduga”. Bukan tersangka. Dalam beberapa kasus,
malahan sampai para terduga ini ditembak mati. Padahal mereka tidak
bersenjata. Di rumah kediamannya tidak ditemukan apa-apa. Tapi tanpa
tedeng aling-aling langsung saja pasukan Densus 88 bertindak layaknya
malaikat Izrail mencabut nyawa mereka. Padahal mereka masih terduga.
Masih mungkin sekali tidak bersalah. Bahkan tidak terkait apa-apa dengan
tindakan terorisme. Tapi keluarga mereka langung kehilangan. Anak
istrinya hilang sumber penghidupan.
Selain itu, kejanggalan aksi Densus juga terlihat dalam caranya
menangani bom atau bahan peledak. Seperti ketika melakukan penangkapan
terduga teroris Solo. “Densus 88 Indonesia melebihi pasukan antiteror
AS.
Kalau AS saja tidak bisa menemukan bom kimia di Irak, maka Densus 88
Indonesia menemukan bahan kimia netrogliserin di Solo bahkan jumlahnya
berkilo-kilo, ini luar biasa,” kata Koordinator Indonesian Crime Analyst
Forum (ICAF), Mustofa B. Nahrawardaya kepada
itoday, Selasa (25/9/2012).
Menurut Mustofa, anggota Densus 88 yang menenteng cairan kimia
netrogliserin dengan wajah tanpa ada rasa ketakutan itu merupakan
keanehan.
“Menenteng cairan kimia netrogliserin dengan sangat santai tidak mungkin
dan disyuting televisi. Saya sarankan, kalau Densus 88 disyuting
televisi jangan terlihat santai membawa cairan kimia, kalau kelihatan
santai nanti dicurigai,” paparnya.
Ia juga menyatakan, pernah mendapat pesan pendek (SMS) dari aparat
kepolisian bahwa bahan cairan kimia itu sudah dijinakkan. “Saya jawab
sms itu, cairan kimia itu tidak bisa dijinakkan, kalau rangkaian bom
yang ada kabel dan detonator bisa dijinakkan,” ungkapnya.
Kata Mustofa, orang-orang yang diduga teroris sudah mengetahui
sedang dipantau pihak Densus 88 tetapi masih menyimpan bahan-bahan
peledak maupun bahan kimia. “Ini yang aneh, bodoh, tolol. Tetapi intinya
apapun alasannya, Densus ingin menghabisi ‘teroris’, termasuk
bisnis-bisnisnya. Sebuah penerbitan Arofah dihabisi termasuk buku-buku
jihad,” ungkapnya.
Hal yang tak jauh berbeda terjadi ketika para petugas menangani bom buku
yang konon sengaja dikirim kepada pentolan Jaringan Islam Liberal, Ulil
Abshar Abdalla di markasnya Utan Kayu, Jakarta Timur. Banyak petugas
terlihat santai, tak menjauh dari lokasi bom buku ketika proses
penjinakan sedang dilakukan. Mereka malah bercerita sambil tertawa-tawa.
Padahal umumnya manusia pasti ada rasa takut dan khawatir sehingga
berusaha menjauh, kecuali bagi para penjinak bom. Tapi ini beda. Tanya
kenapa?
Di samping itu, kita juga mengingat banyaknya keanehan dalam kasus penggerebekan di Dusun
Beji, Desa Kedu, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung yang katanya
untuk memburu buron nomor wahid Noordin M. Top, pada tahun 2009.
Dalam aksi drama baku tembak yang berlangsung sekitar 17 jam yang berakhir pukul 09.30 pagi tersebut, kepolisian akhirnya bisa menembak mati seorang buronan teroris yang diduga adalah Noordin M Top. Sempat terjadi kesimpang
siuran berapa jumlah korban yang meninggal. Sekitar pukul 08.00 Metro
TV menyebutkan bahwa ada sekitar 3 orang yang yang berada di rumah.
Beberapa menit kemudian informasi berubah bahwa Noordin M
Top terluka di kamar mandi dengan mengalungkan bom di tubuhnya namun ada
anak-anak kecil dan nenek-nenek yang diduga sebagai sandera.
Namun dalam keterangan resminya Kapolri Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri membuat pernyataan bahwa asumsi berita hanya ada karena interpretasi Polri terhadap kondisi lapangan yang tidak terlalu jelas, sedangkan masalah kalung bom di tubuh adalah asumsi bahwa penyerbuan Dr Azahari yang dulu juga menemukan keadaan seperti demikian.
Apakah kemudian tidak aneh harus menunggu 17 jam untuk melumpuhkan
teroris macam begini? Lalu jika terorisnya benar-benar super berbahaya,
bagaimana mungkin personil Densus tampil di depan kamera televisi
dengan rasa percaya diri tinggi dan tanpa keraguan sedikitpun. Begitupun
cameraman dan kru televisi, mereka seperti tanpa beban berkerja meliput
peristiwa yang semestinya begitu dahsyat. Exclussive live reportnya
begitu dahsyat.
Entahlah. Rasa-rasanya ada yang tidak biasa dari informasi-informasi
yang tersaji. Cobalah kita teliti setiap informasi yang mengemuka. Dari
banyak pengalaman, operasi pemberantasan terorisme selalu saja
mengkambinghitamkan umat Islam. Lebih tegasnya gerakan Islam yang pro
penerapan syariah. Dulu bidikannya Majelis Mujahidin Indonesia. Lalu
setelah Abu Bakar Ba’asyir keluar dari situ dan membentuk gerakan baru,
maka sasaran Densus pun beralih ke sana: Jama’ah Ansharut Tauhid. Kini,
HASMI pula yang coba diteroriskan. Simbol-simbol ketaatan seorang
muslim kepada agamanya pun diidentikkan dengan aksi teror semisal
berjenggot, berjilbab lebar, bercadar, rajin shalat di masjid dan
mengoleksi buku-buku Islam.
Maka benarlah statement Dr. Muhammad Abbas,
“Media massa Barat telah
mengajari kita bahwa sebenarnya tidak ada informasi jujur atau
informasi bohong. Yang ada hanyalah informasi bodoh dan informasi
cerdas, tapi keduanya sama-sama bohong. Tetapi, informasi bodoh adalah
yang ketahuan bohongnya.”
Bahkan yang membuat saya geram adalah komentar Al Chaidar di TV One yang
pada awalnya jelas ia mengaku tak tahu menahu tentang HASMI ini,
tiba-tiba mencoba mengidentiikan teroris sebagai kelompok yang menolak
Syi’ah. Padahal sudah jelas semua kaum muslimin ahlussunnah wal jamaah
bersepakat menyatakan sesatnya paham Syi’ah.
Jadi, seperti ada upaya
charachter assasination terhadap Islam
dan syariatnya melalui isu terorisme ini. Yang jelas, Islam anti
kekerasan dan tidak menyetujui aksi-aksi terorisme. Dan siapapun yang
mencoba melekat-lekatkan Islam dengan terorisme, maka ia sedang menebar
kebencian dan permusuhan kepada umay Islam seluruh dunia.
Saran saya, Densus 88 dan BNPT bekerjalah lebih serius, ringkus terduga
teroris itu hidup-hidup, interogasi mereka, temukan akar jaringannya,
cerabut akar ideologi sesatnya, temukan sumber dana dan persenjataan
mereka yang sesungguhnya. Kalau aksi teroris masih ada lagi, berarti
kinerja Densus 88 dan BNPT gagal. Sia-sialah anggaran yang diperas dari
keringat, darah dan airmata rakyat Indonesia ini.
Banda Aceh, 29 Oktober 2012
Sumber:
www.hasmi.org