yunusst memberikan inspirasi kepada anda

Tutorial

Tuesday 8 September 2015

Bagi yang sudah berhenti kerja per 1 September 2015 uang JHT bisa dicairkan 100%

Info terbaru bagi peserta BPJS Ketenagakerjaan/Jamsostek yang sudah berhenti kerja atau ter-PHK dari perusahaan minimal satu bulan, mulai 1 September 2015 nanti uang JHT (Jaminan Hari Tua) bisa diambil penuh alias seluruhnya. Setelah sebelumnya untuk bisa mencairkan 100% harus menunggu sampai 56 tahun, atau ketika mengalami cacat total tetap, atau ketika sudah meninggal dunia.
Revisi ini jelas merupakan kabar gembira nan bahagia bagi peserta BPJS TK, baik yang sudah tidak bekerja maupun yang masih aktif bekerja. Buat yang sudah berhenti bekerja, tentu mulai awal September nanti sudah bisa mengambil uang JHT-nya. Sedangkan bagi yang masih bekerja ini juga kabar yang melegakan, karena jika sewaktu-sewaktu berhenti kerja, tidak perlu berlama-lama cukup satu bulan menunggu sudah bisa mengklaim dana JHT-nya. Iya, akhirnya pemerintah mau merubah lagi Peraturan Pemerintah no 46 tahun 2015 tentang persyaratan pengambilan uang JHT.
Dalam revisi terbaru ini, peserta BPJS Ketenagakerjaan yang telah berhenti bekerja plus masa tunggu satu bulan, uang JHT sudah bisa langsung dicairkan. Tidak perlu menunggu-nunggu lagi sampai masa kepesertaan mencapai 10 tahun, atau ketika sudah berumur 56 tahun, seperti yang sempat dirilis dalam peraturan 1 Juli 2015 beberapa waktu lalu.
Baca Juga: Hari Ini Peraturan Baru Pencairan JHT Resmi Mulai Diberlakukan
Prosedur pencairan uang JHT yang dibatasi hanya 10% untuk persiapan pensiun, 30% untuk biaya perumahan, dan 100% ketika sudah berumur 56 tahun, itu nantinya hanya berlaku bagi peserta-peserta BPJS TK yang masih aktif bekerja. Sementara yang sudah berhenti bekerja, uang JHT bisa diambil sepenuhnya.
Revisi peraturan baru pembayaran dana JHT ini disampaikan langsung oleh Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia, bapak Hanif Dzakiri, pada hari kamis, 20 Agustus 2015. Beliau mengumumkan, para pekerja yang terkena PHK atau yang sudah berhenti bekerja bisa mencairkan uang Jaminan Hari Tua-nya sebulan setelah berhenti bekerja.
Jadi buat teman-teman peserta BPJS Ketenagakerjaan yang sudah berhenti kerja, entah karena mengundurkan diri (resign) atau pun diberhentikan (PHK), mulai awal September nanti sudah bisa mengambil semua saldo JHT-nya.
Selain harus sudah berhenti bekerja setidaknya satu bulan, tentu saja jangan lupa untuk mempersiapkan dokumen-dokumen persyaratannya. Seperti:
1. Kartu Jamsostek/BPJS Ketenagakerjaan.
2. Paklaring.
3. KTP atau boleh juga SIM.
4. Kartu Keluarga.
5. Buku Tabungan.
Dokumen-dokumen tersebut difotocopy masing-masing satu lembar dan wajib menyertakan dokumen yang asli. Kurang salah satu saja, pengajuan klaim dana JHT bisa ditolak.
Untuk tata cara pencairannya sepertinya masih sama seperti biasanya. Mendatangi kantor cabang BPJS Ketenagakerjaan terdekat, mengisi formulir pengajuan klaim JHT, menandatangani surat pernyataan sedang tidak bekerja di perusahaan manapun, ceklis kelengkapan berkas, panggilan wawancara, difoto dan terakhir transfer seluruh saldo JHT ke nomor rekening bank. Jangan sungkan bertanya kepada petugas BPJS TK jika ada hal-hal yang membingungkan ataupun tidak dimengerti. Mereka ramah-ramah kok.
Demikian saja informasi terbaru seputar syarat dan tata cara pencairan uang JHT BPJS Ketenagakerjaan/Jamsostek. Semoga teman-teman peserta BPJS TK yang hampir dua bulan ini dibuat jengkel oleh peraturan 1 Juli 2015, bisa sedikit lega atas kabar baik ini. Dan semoga pula, setelah revisi kali ini, tidak ada perubahan-perubahan peraturan lagi yang justru membuat marah rakyat banyak.
Terima kasih sudah membaca. Silahkan bagikan artikel ini biar teman-teman yang lain juga mengetahui kabar gembira ini. ^^

Share:

Buat Renungan Kita, terlebih sebagai seorang suami, atau cowok yang akan meminang pacarnya! Jleb banget

Ada renungan yang pas nih buat para rider,terutama para cowok, para suami…hehe

Jangan jadikan aku istrimu, jika nanti dengan alasan bosan kamu berpaling pada perempuan lain. Kamu harus tahu meski bosan mendengar suara dengkurmu, melihatmu begitu pulas, wajah laki-laki lain yang terlihat begitu sempurna pun tak mengalihkan pandanganku dari wajah lelahmu setelah bekerja seharian.

Jangan jadikan aku istrimu, jika nanti kamu enggan hanya untuk mengganti popok anakmu ketika dia terbangun tengah malam. Sedang selama sembilan bulan aku harus selalu membawanya di perutku, membuat badanku pegal dan tak lagi bisa tidur sesukaku.

Jangan jadikan aku istrimu, jika nanti kita tidak bisa berbagi baik suka dan sedih dan kamu lebih memilih teman perempuanmu untuk bercerita. Kamu harus tahu meski begitu banyak teman yang siap menampung curahan hatiku, padamu aku hanya ingin berbagi. Dan aku bukan hanya teman yang tidak bisa diajak bercerita sebagai seorang sahabat.

Jangan jadikan aku istrimu, jika nanti dengan alasan sudah tidak ada kecocokan kamu memutuskan menyatakan cerai padaku. Kamu tahu betul, kita memang berbeda dan bukan persamaan yang menyatukan kita tapi komitmen bersama.

Jangan jadikan aku istrimu, jika nanti kamu memilih tamparan dan pukulan untuk memperingatkan kesalahanku. Sedang aku tidak tuli dan masih bisa mendengar kata-katamu yang lembut tapi berwibawa.

Jangan pilih aku sebagai istrimu, jika nanti setelah seharian bekerja kamu tidak segera pulang dan memilih bertemu teman-temanmu. Sedang seharian aku sudah begitu lelah dengan cucian dan setrikaan yang menumpuk dan aku tidak sempat bahkan untuk menyisir rambutku. Anak dan rumah bukan hanya kewajibanku, karena kamu menikahiku bukan untuk jadi pembantu tapi pendamping hidupmu. Dan jika boleh memilih, aku akan memilih mencari uang dan kamu di rumah saja sehingga kamu akan tahu bagaimana rasanya.

Jangan pilih aku sebagai istrimu, jika nanti kamu lebih sering di kantor dan berkutat dengan pekerjaanmu bahkan di hari minggu daripada meluangkan waktu bersama keluarga. Aku memilihmu bukan karena aku tahu aku akan hidup nyaman dengan segala fasilitas yang bisa kamu persembahkan untukku. Harta tidak pernah lebih penting dari kebersamaan kita membangun keluarga karena kita tidak hidup untuk hari ini saja.

Jangan pilih aku jadi istrimu, jika nanti kamu malu membawaku ke pesta pernikahan teman-temanmu dan memperkenalkanku sebagai istrimu. Meski aku bangga karena kamu memilihku tapi takkan kubiarkan kata-katamu menyakitiku. Bagiku pasangan bukan sebuah trofi apalagi pajangan, bukan hanya seseorang yang sedap dipandang mata. Tapi menyejukkan batin ketika dunia tak lagi ramah menyapa. Rupa adalah anugerah yang akan pudar terkikis waktu, dan pada saat itu kamu akan tahu kalau pikiran dangkal telah menjerumuskanmu.

Jangan pilih aku jadi istrimu, jika nanti kamu berpikir akan mencari pengganti ketika tubuhku tak selangsing sekarang. Kamu tentunya tahu kalau kamu juga ikut andil besar dengan melarnya tubuhku. Karena aku tidak lagi punya waktu untuk diriku, sedang kamu selalu menyempatkan diri ketika teman-temanmu mengajakmu berpetualang.

Jangan buru-buru menjadikanku istrimu, jika saat ini kamu masih belum bisa menerima kekurangan dan kelebihanku. Sedang seiring waktu, kekurangan bukan semakin tipis tapi tambah nyata di hadapanmu dan kelebihanku mungkin akan mengikis kepercayaan dirimu. Kamu harus tahu perut buncitmu tak sedikitpun mengurangi rasa cintaku, dan prestasimu membuatku bangga bukan justru terluka.

Jangan buru-buru menjadikanku istrimu, jika saat ini kamu masih ingin bersenang-senang dengan teman-temanmu dan beranggapan aku akan melarangmu bertemu mereka setelah kita menikah. Kamu harus tahu akupun masih ingin menghabiskan waktu bersama teman-temanku, untuk sekedar ngobrol atau creambath di salon. Dan tak ingin apa yang disebut “kewajiban” membuatku terisolasi dari pergaulan, ketika aku semakin disibukkan dengan urusan rumah tangga. Menikah bukan untuk menghapus identitas kita sebagai individu, tapi kita tahu kita harus selalu menghormati hak masing-masing tanpa melupakan kewajiban.

Jangan buru-buru menikahiku, jika saat ini kamu sungkan pada orang tuaku dan merasa tidak nyaman karena waktu semakin menunjukkan kekuasaannya. Bagiku hidup lebih dari angka yang kita sebut umur, aku tidak ingin menikah hanya karena kewajiban atau untuk menyenangkan keluargaku. Menikah denganmu adalah salah satu keputusan terbesar di hidupku yang tidak ingin kusesali hanya karena terburu-buru.

Jangan buru-buru menikahiku, jika sampai saat ini kamu masih berpikir mencuci adalah pekerjaan perempuan. Aku tak akan keberatan membetulkan genting rumah, dan berubah menjadi satpam untuk melindungi anak-anak dan hartamu ketika kamu keluar kota.

Hapus aku dari daftar calon istrimu, jika saat ini kamu berpikir mempunyai lebih dari satu istri tidak menyalahi ajaran agama. Agama memang tidak melarangnya, tapi aku melarangmu menikahiku jika ternyata kamu hanya mengikuti egomu sebagai laki-laki yang tak bisa hidup dengan satu perempuan saja.

Hapus aku dari daftar calon istrimu, jika saat ini masih ada perempuan yang menarik hatimu dan rasa penasaran membuatmu enggan mengenalkanku pada teman-temanmu. Kamu harus tahu meski cintamu sudah kuperjuangkan, aku tidak akan ragu untuk meninggalkanmu.

Hapus aku dari daftar calon istrimu, jika saat ini kamu berpikir menikahiku akan menyempurnakan separuh akidahmu sedang kamu enggan menimba ilmu untuk itu. Ilmuku tak banyak untuk itu dan aku ingin kamu jadi imamku, seorang pemimpin yang tahu kemana membawa pengikutnya.
Jangan jadikan aku sebagai istrimu, jika kamu berpikir bisa menduakan cinta. Kamu mungkin tak tahu seberapa besar aku mengagungkan sebuah cinta, tapi aku juga tidak akan menyakiti diriku sendiri jika cinta yang kupilih ternyata mengkhianatiku.

Jangan jadikan aku sebagai istrimu, jika kamu berpikir aku mencari kesempurnaan. Aku bukan gadis naif yang menunggu sang pangeran datang dan membawaku ke istana. Mimpi seperti itu terlalu menyesatkan, karena sempurna tidak akan pernah ada dalam kamus manusia dan aku bukan lagi seorang gadis yang mudah terpesona.

Jangan pernah berpikir menjadikanku sebagai istrimu, jika kamu belum tahu satu saja alasan kenapa aku harus menerimamu sebagai suamiku.

Monggo di renungkan bersama ya agan agan semua

Share:

Friday 4 September 2015

Kisah Nira, Bocah Perempuan yang Segera Jadi Pengantin

Nira (14), bukan nama sebenarnya, adalah pelajar cemerlang yang unggul dalam berbagai mata pelajaran, mulai dari kesenian, ilmu pengetahuan alam, hingga ilmu pengetahuan sosial. Namun, masa-masa Nira sebagai pelajar akan segera berakhir. Sebab dia segera akan dinikahi seorang pria.
Nira tinggal di Desa Manggaru, sebuah desa kecil yang berjarak hanya 70 km dari Jakarta. Meski tak jauh dari ibu kota, adat istiadat desa ini jauh berbeda dibanding Jakarta. Pernikahan anak merupakan hal biasa di desa ini. Bahkan, Nira adalah siswi ketiga yang akan keluar dari sekolahnya dan menikah tahun ini.
“Aku suka bermain petak umpet,” ucap Nira, saat diminta mendeskripsikan dirinya. Meski masih sangat belia, dia tampak yakin dengan keputusannya untuk menikah. “Kalau aku menunggu sampai lulus baru menikah, belum tentu aku bisa dapat pasangan. Terlalu lama buat dia (calon suami) untuk menunggu,” ujarnya.
Kepala sekolah tempat Nira menuntut ilmu, Pak Deni, telah melihat secara langsung makna pernikahan bagi para muridnya. “Kehamilan akan segera menyusul, perceraian sudah hal biasa, peluang karier semakin terbatas, banyak yang pada akhirnya menjadi pembantu rumah tangga,” kata Deni, “Dan kemiskinan akan terus melanda.”
“Para orangtua di sini berpendapat menikahkan putri mereka dapat memberikan manfaat yang lebih besar daripada menamatkan sekolah mereka. Jika putri mereka dinikahkan, maka beban ekonomi dalam rumah tangga akan berkurang,” tambah dia.
Sebagai seorang pendidik, Deni sudah berusaha menghentikan pernikahan Nira yang akan segera berlangsung. Ia sudah memohon pada orangtua Nira untuk mempertimbangkan kembali dan memberikan kesempatan bagi Nira untuk menyelesaikan sekolahnya. Namun, usaha itu tidak membuahkan hasil.
“Saya percaya bahwa sebenarnya tidak ada murid saya yang ingin menikah dini.Tak satupun dari mereka yang tampak kehilangan minat belajar sebelum pernikahan mereka," Deni melanjutkan.
Selembar surat undangan pernikahan Nira tergeletak di atas meja Deni. Pria itu sesekali melirik undangan berwarna merah muda cerah tersebut. “Setiap kali saya melihat salah satu murid saya menikah, saya merasa gagal sebagai seorang pendidik. Saya merasa sangat bertanggung jawab. Ini benar-benar menghancurkan hati saya," kata Deni.
Hanya tinggal menunggu waktu saja sebelum Deni mendapat kabar dari murid perempuan lainnya yang meninggalkan sekolah untuk menjadi pengantin muda. Tapi hingga pernikahan berlangsung, mereka memiliki cita-cita yang tinggi. Ada yang ingin menjadi guru, menjadi koki, pengusaha, dokter, dosen dan daftar cita-cita itu terus berlanjut.
Sebagian besar profesi tersebut mengharuskan mereka untuk tidak hanya menyelesaikan sekolah saja, tetapi juga untuk mendapatkan gelar sarjana di tingkat universitas. “Saya ingin kuliah kalau ada uang,” ucap salah seorang anak.
Sayangnya, melanjutkan pendidikan hingga tingkat universitas adalah sebuah kemewahan yang tak terjangkau bagi sejumlah keluarga di Desa Manggaru. Pernikahan dipandang sebagai pilihan yang jauh lebih aman dari segi ekonomi.
Seorang anak bernama Desi mengatakan bahwa teman-teman sekolahnya tidak lagi menghabiskan waktu bersama mereka yang sudah menikah. “Tidak lama kemudian mereka akan hamil atau sibuk dengan anak-anak,” ucapnya.
Dan menurut Desi, kecil kemungkinan bahwa Nira akan kembali bersekolah setelah menjadi seorang istri. “Aneh saja (jika seorang yang sudah menikah masih bersekolah)," ujar Desi.
Beberapa anak memberikan saran untuk Nira. “Jangan bertengkar dengan suami,” kata salah satu temannya. “Cepat punya anak,” kata teman yang lain. Di desa tersebut, memiliki anak adalah suatu pandangan yang menarik. Namun, tidak satu anak pun tahu persis bagaimana caranya seseorang bisa hamil.
Penuh risiko
Kehamilan dan persalinan di Manggaru penuh dengan risiko apalagi bagi perempuan berusia muda seperti Nira. Layanan dan sarana kesehatan masih sangat terbatas. Dokter terdekat pun berjarak hampir satu jam perjalanan jika ditempuh dengan kendaraan bermotor.
Ketika seorang ibu di desa ini mulai memasuki masa persalinan, umumnya mereka berkunjung ke seorang paraji (dukun bersalin). Fasilitas yang dimiliki seorang paraji tentunya sangat terbatas dibandingkan dokter atau rumah sakit. Akibatnya, komplikasi parah atau bahkan kematian menjadi hal yang sering terjadi dalam proses bersalin.
Subyek pernikahan menimbulkan tanggapan yang beragam dari anak-anak laki di Manggaru. “Aku punya teman perempuan yang menikah saat baru berusia 11 tahun,” kata salah seorang anak. “Salah satu temanku menikah waktu usianya masih muda. Dia meninggal saat melahirkan,” kata anak yang lain.
Meskipun ada banyak kisah seperti itu, para murid laki-laki mengakui bahwa pernikahan seperti yang akan dialami Nira adalah hal yang "normal". Tak satupun dari mereka mengetahui tentang adanya usia minimum yang telah ditetapkan dalam Undang-undang Pernikahan negara ini.
Meski demikian, salah satu anak berkata, “Mestinya anak perempuan tidak boleh menikah saat usia 14 tahun. Dia mungkin masih ingin bermain dan bergaul dengan teman-temannya. Perempuan juga memiliki mimpi dan harapan mereka sendiri.”
Mimpi dan harapan Nira akan tertahan. Calon suaminya, Fadil, berusia 9 tahun lebih tua darinya. Fadil saat ini tidak memiliki pekerjaan. Rencana bagi masa depan pasangan ini tidak jelas. Tetap saja, Nira menegaskan bahwa menikahi Fadil adalah keputusan yang tepat. “Tuhan mengirimkan aku untuk menjadi jodohnya,” Nira berkata. “Ini takdir.”
Demi keamanan nara sumber, UNICEF merahasiakan nama dan lokasi sesungguhnya dari kisah ini

Share:

Kisah Nira, Bocah Perempuan yang Segera Jadi Pengantin

Nira (14), bukan nama sebenarnya, adalah pelajar cemerlang yang unggul dalam berbagai mata pelajaran, mulai dari kesenian, ilmu pengetahuan alam, hingga ilmu pengetahuan sosial. Namun, masa-masa Nira sebagai pelajar akan segera berakhir. Sebab dia segera akan dinikahi seorang pria.
Nira tinggal di Desa Manggaru, sebuah desa kecil yang berjarak hanya 70 km dari Jakarta. Meski tak jauh dari ibu kota, adat istiadat desa ini jauh berbeda dibanding Jakarta. Pernikahan anak merupakan hal biasa di desa ini. Bahkan, Nira adalah siswi ketiga yang akan keluar dari sekolahnya dan menikah tahun ini.
“Aku suka bermain petak umpet,” ucap Nira, saat diminta mendeskripsikan dirinya. Meski masih sangat belia, dia tampak yakin dengan keputusannya untuk menikah. “Kalau aku menunggu sampai lulus baru menikah, belum tentu aku bisa dapat pasangan. Terlalu lama buat dia (calon suami) untuk menunggu,” ujarnya.
Kepala sekolah tempat Nira menuntut ilmu, Pak Deni, telah melihat secara langsung makna pernikahan bagi para muridnya. “Kehamilan akan segera menyusul, perceraian sudah hal biasa, peluang karier semakin terbatas, banyak yang pada akhirnya menjadi pembantu rumah tangga,” kata Deni, “Dan kemiskinan akan terus melanda.”
“Para orangtua di sini berpendapat menikahkan putri mereka dapat memberikan manfaat yang lebih besar daripada menamatkan sekolah mereka. Jika putri mereka dinikahkan, maka beban ekonomi dalam rumah tangga akan berkurang,” tambah dia.
Sebagai seorang pendidik, Deni sudah berusaha menghentikan pernikahan Nira yang akan segera berlangsung. Ia sudah memohon pada orangtua Nira untuk mempertimbangkan kembali dan memberikan kesempatan bagi Nira untuk menyelesaikan sekolahnya. Namun, usaha itu tidak membuahkan hasil.
“Saya percaya bahwa sebenarnya tidak ada murid saya yang ingin menikah dini.Tak satupun dari mereka yang tampak kehilangan minat belajar sebelum pernikahan mereka," Deni melanjutkan.
Selembar surat undangan pernikahan Nira tergeletak di atas meja Deni. Pria itu sesekali melirik undangan berwarna merah muda cerah tersebut. “Setiap kali saya melihat salah satu murid saya menikah, saya merasa gagal sebagai seorang pendidik. Saya merasa sangat bertanggung jawab. Ini benar-benar menghancurkan hati saya," kata Deni.
Hanya tinggal menunggu waktu saja sebelum Deni mendapat kabar dari murid perempuan lainnya yang meninggalkan sekolah untuk menjadi pengantin muda. Tapi hingga pernikahan berlangsung, mereka memiliki cita-cita yang tinggi. Ada yang ingin menjadi guru, menjadi koki, pengusaha, dokter, dosen dan daftar cita-cita itu terus berlanjut.
Sebagian besar profesi tersebut mengharuskan mereka untuk tidak hanya menyelesaikan sekolah saja, tetapi juga untuk mendapatkan gelar sarjana di tingkat universitas. “Saya ingin kuliah kalau ada uang,” ucap salah seorang anak.
Sayangnya, melanjutkan pendidikan hingga tingkat universitas adalah sebuah kemewahan yang tak terjangkau bagi sejumlah keluarga di Desa Manggaru. Pernikahan dipandang sebagai pilihan yang jauh lebih aman dari segi ekonomi.
Seorang anak bernama Desi mengatakan bahwa teman-teman sekolahnya tidak lagi menghabiskan waktu bersama mereka yang sudah menikah. “Tidak lama kemudian mereka akan hamil atau sibuk dengan anak-anak,” ucapnya.
Dan menurut Desi, kecil kemungkinan bahwa Nira akan kembali bersekolah setelah menjadi seorang istri. “Aneh saja (jika seorang yang sudah menikah masih bersekolah)," ujar Desi.
Beberapa anak memberikan saran untuk Nira. “Jangan bertengkar dengan suami,” kata salah satu temannya. “Cepat punya anak,” kata teman yang lain. Di desa tersebut, memiliki anak adalah suatu pandangan yang menarik. Namun, tidak satu anak pun tahu persis bagaimana caranya seseorang bisa hamil.
Penuh risiko
Kehamilan dan persalinan di Manggaru penuh dengan risiko apalagi bagi perempuan berusia muda seperti Nira. Layanan dan sarana kesehatan masih sangat terbatas. Dokter terdekat pun berjarak hampir satu jam perjalanan jika ditempuh dengan kendaraan bermotor.
Ketika seorang ibu di desa ini mulai memasuki masa persalinan, umumnya mereka berkunjung ke seorang paraji (dukun bersalin). Fasilitas yang dimiliki seorang paraji tentunya sangat terbatas dibandingkan dokter atau rumah sakit. Akibatnya, komplikasi parah atau bahkan kematian menjadi hal yang sering terjadi dalam proses bersalin.
Subyek pernikahan menimbulkan tanggapan yang beragam dari anak-anak laki di Manggaru. “Aku punya teman perempuan yang menikah saat baru berusia 11 tahun,” kata salah seorang anak. “Salah satu temanku menikah waktu usianya masih muda. Dia meninggal saat melahirkan,” kata anak yang lain.
Meskipun ada banyak kisah seperti itu, para murid laki-laki mengakui bahwa pernikahan seperti yang akan dialami Nira adalah hal yang "normal". Tak satupun dari mereka mengetahui tentang adanya usia minimum yang telah ditetapkan dalam Undang-undang Pernikahan negara ini.
Meski demikian, salah satu anak berkata, “Mestinya anak perempuan tidak boleh menikah saat usia 14 tahun. Dia mungkin masih ingin bermain dan bergaul dengan teman-temannya. Perempuan juga memiliki mimpi dan harapan mereka sendiri.”
Mimpi dan harapan Nira akan tertahan. Calon suaminya, Fadil, berusia 9 tahun lebih tua darinya. Fadil saat ini tidak memiliki pekerjaan. Rencana bagi masa depan pasangan ini tidak jelas. Tetap saja, Nira menegaskan bahwa menikahi Fadil adalah keputusan yang tepat. “Tuhan mengirimkan aku untuk menjadi jodohnya,” Nira berkata. “Ini takdir.”
Demi keamanan nara sumber, UNICEF merahasiakan nama dan lokasi sesungguhnya dari kisah ini

Share:

Friday 28 August 2015

Imam, Tukang Sampah Indonesia yang Mengharukan Dunia

 Seorang tukang sampah di Indonesia berhasil menarik perhatian dunia dengan kisah kehidupannya. Sebuah media Inggris awalnya mengangkat laporan kisah hidup tukang sampah di Jakarta.
Dalam laporan yang ditayangkan stasiun televisi Inggris BBC2 tersebut, sang wartawan terjun langsung selama satu jam untuk menyaksikan secara langsung kehidupan Imam sebagai tukang sampah di Jakarta.
Sebelumnya, sebagai perbandingan diperlihatkan kehidupan tukang sampah (binman) di Inggris yang bernama Wilbur Ramirez. Di Inggris sana, Wilbur bekerja menggunakan truk dan dibantu dua orang rekan.
Inti acara tersebut sebenarnya ingin membandingkan bagaimana hidup tukang sampah di Jakarta dengan di Inggris. Wilbur sendiri ikut dalam liputan tersebut. Selama 10 hari, Wilbur mengikuti Imam bekerja mengumpulkan sampah di kota Jakarta. Sampah di Jakarta masih merupakan salah satu masalah yang belum terselesaikan.
"Kamu bekerja dengan siapa saja?" tanya Wilbur. Imam menjawab bahwa ia bekerja sendiri mengumpulkan sampah dari rumah ke rumah tanpa bantuan siapa pun.
Mendengar hal tersebut, Wilbur sempat menitikkan air mata. Ia seperti tidak percaya, dengan gaji yang tidak seberapa, Imam dapat menghidupi anak dan istrinya. Jika dibandingkan dengan dirinya, di Inggris terdapat keselamatan standar pengelolaan limbah serta pelayanan kesehatan.
Sedangkan Imam dan keluarganya nyaris tidak tersentuh pelayanan kesehatan di Indonesia. Wilbur tak dapat membayangkan bagaimana perjalanan kehidupan Imam dengan gaji yang tidak seberapa serta ketidakberdayaannya untuk mengubah keadaan.
Tayangan tersebut mendapatkan banyak respon, tak hanya dari orang-orang asing, tapi juga orang-orang Indonesia yang mengetahui kenyataan tersebut.

“Nangis aku nontonnya…..bukan nangisin tukang sampah Inggris, tetapi rakyat kita yang kerja mengais-ngais sampah,” ujar Yanti Hitalessy.
Laporan dari BBC tersebut menjadi bahan diskusi di laman facebook yang antara lain disebut oleh Lies Parish meskipun sama berprofesi sebagai tukang sampah namun pekerjaan dan kehidupan mereka sungguh jauh berbeda. Bahkan tukang sampah di Inggris pun sampai menangis menyaksikan bagaimana tukang sampah di Jakarta.
Di akhir tayangan, Wilbur memohon kepada ketua RT di lingkungan Imam agar Imam mendapat kenaikan gaji. Syukurlah, permohonan tersebut dikabulkan.
Sampai saat ini, kesenjangan sosial masih menjadi isu yang sensitif di Indonesia. Sementara masih banyak masyarakat mesti membanting tulang, hidup miskin, bahkan tidak memeroleh penghidupan yang layak, banyak wakil rakyat yang justru hidup enak dengan gaji yang didapat dari pajak masyarakat.
Share:

Wednesday 5 August 2015

k45 go to Karawang (Kopdargab part III)







Share:

Nama Provinsi Jawa Barat Diganti Jadi `Pasundan`?

Nama Provinsi Jawa Barat Diganti Jadi Pasundan?Peta Provinsi Jawa Barat (yunusst.blogspot.com)

Provinsi di bagian barat Pulau Jawa ini dianggap memiliki prestasi menurun sejak menyandang nama Jawa Barat.
Sejumlah tokoh menemui Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) Yuddy Chrisnandi. Mereka hendak menyampaikan maksud mengubah nama Provinsi Jawa Barat menjadi Provinsi Pasundan atau Tatar Sunda.
Para tokoh seperti Adjie Esa Putra, Asep Saeful, Rully Indrawan, Dani Wisnu, Hendy, Dyna Ahmad, dan Memet Hamdan menggabungkan diri dalam Tim Pengkaji Perubahan Nama Jawa Barat. Mereka menilai nama Jawa Barat tidak tepat lagi digunakan.
"Kami sudah lama memperjuangkan ini, sudah sejak tahun 2012. Kami sudah melakukan kajian-kajian, melakukan pertemuan dengan tokoh-tokoh dari Pasundan, tetapi yang paling sulit itu bertemu dengan Gubernur Jawa Barat," ujar Koordinator Tim Adjie Esa Putra, dikutip Dream dari menpan.go.id, Rabu, 5 Agustus 2015.
Adjie mengatakan, nama Jawa Barat tidak membawa dampak positif. Bahkan, terang dia, prestasi provinsi di bagian barat Pulau Jawa itu dinilai semakin menurun lantaran bernama Jawa Barat.
Dia mendasarkan pendapatnya pada data Badan Pusat Statistik (BPS). Dalam data tersebut disebutkan persentase partisipasi usia pendidikan SMP di Jawa Barat berada di peringkat 24, kalah dengan Papua Barat serta Aceh. Juga jumlah penduduk miskin berada di urutan 15.
"Kita, masyarakat Sunda seperti kehilangan jati diri," ungkap dia.
Di samping itu, terang Adjie, terdapat patokan untuk mengidentifikasi nilai-nilai dan sejarah Pasundan. Dia menegaskan Pasundan bahkan sudah dipakai menjadi nama provinsi sejak zaman kolonial.
"Dulu namanya pernah Tatar Sunda, lalu diubah oleh Belanda jadi West Java. Kita ingin berubah nama agar identitas masyarakat Sunda tidak luntur," terang dia.
Sementara itu, anggota tim Dyna Ahmad mengatakan pengubahan nama tersebut sudah menjadi niat bulat timnya. Ini lantaran secara geografis Pasundan bukan bagian dari Pulau Jawa.
"Alasannya kenapa ganti nama. Istilah di Sunda itu, kalau anak sakit-sakitan karena terlalu berat namanya. Kalau ganti nama bisa sehat," terang Dyna.
Terkait hal ini, Yuddy memberikan sambutan cukup baik. Secara pribadi, dia mendukung aspirasi yang dibawa oleh tim ini.
Di samping itu, Yuddy menerangkan pengubahan nama bisa dilalukan. Patokannya adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 30 Tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian Nama Daerah, Pemberian Nama Ibu Kota, Perubahan Nama Daerah, Perubahan Nama Ibu Kota, dan Pemindahan Ibu Kota. (Ism)
Share:

Translate

Arquivo do blog

Total Pageviews

Facebook