Kisah Nira, Bocah Perempuan yang Segera Jadi Pengantin

Nira (14), bukan nama sebenarnya, adalah pelajar cemerlang yang unggul dalam berbagai mata pelajaran, mulai dari kesenian, ilmu pengetahuan alam, hingga ilmu pengetahuan sosial. Namun, masa-masa Nira sebagai pelajar akan segera berakhir. Sebab dia segera akan dinikahi seorang pria.
Nira tinggal di Desa Manggaru, sebuah desa kecil yang berjarak hanya 70 km dari Jakarta. Meski tak jauh dari ibu kota, adat istiadat desa ini jauh berbeda dibanding Jakarta. Pernikahan anak merupakan hal biasa di desa ini. Bahkan, Nira adalah siswi ketiga yang akan keluar dari sekolahnya dan menikah tahun ini.
“Aku suka bermain petak umpet,” ucap Nira, saat diminta mendeskripsikan dirinya. Meski masih sangat belia, dia tampak yakin dengan keputusannya untuk menikah. “Kalau aku menunggu sampai lulus baru menikah, belum tentu aku bisa dapat pasangan. Terlalu lama buat dia (calon suami) untuk menunggu,” ujarnya.
Kepala sekolah tempat Nira menuntut ilmu, Pak Deni, telah melihat secara langsung makna pernikahan bagi para muridnya. “Kehamilan akan segera menyusul, perceraian sudah hal biasa, peluang karier semakin terbatas, banyak yang pada akhirnya menjadi pembantu rumah tangga,” kata Deni, “Dan kemiskinan akan terus melanda.”
“Para orangtua di sini berpendapat menikahkan putri mereka dapat memberikan manfaat yang lebih besar daripada menamatkan sekolah mereka. Jika putri mereka dinikahkan, maka beban ekonomi dalam rumah tangga akan berkurang,” tambah dia.
Sebagai seorang pendidik, Deni sudah berusaha menghentikan pernikahan Nira yang akan segera berlangsung. Ia sudah memohon pada orangtua Nira untuk mempertimbangkan kembali dan memberikan kesempatan bagi Nira untuk menyelesaikan sekolahnya. Namun, usaha itu tidak membuahkan hasil.
“Saya percaya bahwa sebenarnya tidak ada murid saya yang ingin menikah dini.Tak satupun dari mereka yang tampak kehilangan minat belajar sebelum pernikahan mereka," Deni melanjutkan.
Selembar surat undangan pernikahan Nira tergeletak di atas meja Deni. Pria itu sesekali melirik undangan berwarna merah muda cerah tersebut. “Setiap kali saya melihat salah satu murid saya menikah, saya merasa gagal sebagai seorang pendidik. Saya merasa sangat bertanggung jawab. Ini benar-benar menghancurkan hati saya," kata Deni.
Hanya tinggal menunggu waktu saja sebelum Deni mendapat kabar dari murid perempuan lainnya yang meninggalkan sekolah untuk menjadi pengantin muda. Tapi hingga pernikahan berlangsung, mereka memiliki cita-cita yang tinggi. Ada yang ingin menjadi guru, menjadi koki, pengusaha, dokter, dosen dan daftar cita-cita itu terus berlanjut.
Sebagian besar profesi tersebut mengharuskan mereka untuk tidak hanya menyelesaikan sekolah saja, tetapi juga untuk mendapatkan gelar sarjana di tingkat universitas. “Saya ingin kuliah kalau ada uang,” ucap salah seorang anak.
Sayangnya, melanjutkan pendidikan hingga tingkat universitas adalah sebuah kemewahan yang tak terjangkau bagi sejumlah keluarga di Desa Manggaru. Pernikahan dipandang sebagai pilihan yang jauh lebih aman dari segi ekonomi.
Seorang anak bernama Desi mengatakan bahwa teman-teman sekolahnya tidak lagi menghabiskan waktu bersama mereka yang sudah menikah. “Tidak lama kemudian mereka akan hamil atau sibuk dengan anak-anak,” ucapnya.
Dan menurut Desi, kecil kemungkinan bahwa Nira akan kembali bersekolah setelah menjadi seorang istri. “Aneh saja (jika seorang yang sudah menikah masih bersekolah)," ujar Desi.
Beberapa anak memberikan saran untuk Nira. “Jangan bertengkar dengan suami,” kata salah satu temannya. “Cepat punya anak,” kata teman yang lain. Di desa tersebut, memiliki anak adalah suatu pandangan yang menarik. Namun, tidak satu anak pun tahu persis bagaimana caranya seseorang bisa hamil.
Penuh risiko
Kehamilan dan persalinan di Manggaru penuh dengan risiko apalagi bagi perempuan berusia muda seperti Nira. Layanan dan sarana kesehatan masih sangat terbatas. Dokter terdekat pun berjarak hampir satu jam perjalanan jika ditempuh dengan kendaraan bermotor.
Ketika seorang ibu di desa ini mulai memasuki masa persalinan, umumnya mereka berkunjung ke seorang paraji (dukun bersalin). Fasilitas yang dimiliki seorang paraji tentunya sangat terbatas dibandingkan dokter atau rumah sakit. Akibatnya, komplikasi parah atau bahkan kematian menjadi hal yang sering terjadi dalam proses bersalin.
Subyek pernikahan menimbulkan tanggapan yang beragam dari anak-anak laki di Manggaru. “Aku punya teman perempuan yang menikah saat baru berusia 11 tahun,” kata salah seorang anak. “Salah satu temanku menikah waktu usianya masih muda. Dia meninggal saat melahirkan,” kata anak yang lain.
Meskipun ada banyak kisah seperti itu, para murid laki-laki mengakui bahwa pernikahan seperti yang akan dialami Nira adalah hal yang "normal". Tak satupun dari mereka mengetahui tentang adanya usia minimum yang telah ditetapkan dalam Undang-undang Pernikahan negara ini.
Meski demikian, salah satu anak berkata, “Mestinya anak perempuan tidak boleh menikah saat usia 14 tahun. Dia mungkin masih ingin bermain dan bergaul dengan teman-temannya. Perempuan juga memiliki mimpi dan harapan mereka sendiri.”
Mimpi dan harapan Nira akan tertahan. Calon suaminya, Fadil, berusia 9 tahun lebih tua darinya. Fadil saat ini tidak memiliki pekerjaan. Rencana bagi masa depan pasangan ini tidak jelas. Tetap saja, Nira menegaskan bahwa menikahi Fadil adalah keputusan yang tepat. “Tuhan mengirimkan aku untuk menjadi jodohnya,” Nira berkata. “Ini takdir.”
Demi keamanan nara sumber, UNICEF merahasiakan nama dan lokasi sesungguhnya dari kisah ini

Post a Comment

Jangan Lupa untuk selalu komen di blog yunusst

Previous Post Next Post