Posted in: Indonesia Votes
Edward Aspinall berpendapat, dunia luar sudah seharusnya
khawatir terhadap kemungkinan Prabowo Subianto menjadi presiden
Indonesia berikutnya, tetapi yang paling dirugikan kalau dia dipilih
sebenarnya adalah rakyat Indonesia.
Pemilihan Umum Presiden pada 9 Juli 2014 tidak hanya menentukan
pemerintah pengganti Susilo Bambang Yudhoyono, tetapi juga menentukan
takdir demokrasi Indonesia. Selama limabelas tahun terakhir, Indonesia
telah menorehkan kisah sukses demokrasi di Asia Tenggara. Berbeda dengan
Thailand yang kembali dalam tradisi lama, di dalam cengkeraman militer
setelah sukses melakukan kudeta, atau Malaysia dan Singapura yang tetap
berada dalam kondisi semi demokratik, demokrasi di Indonesia tampaknya
semakin terkonsolidasi. Walaupun tidak ada pengamat yang mengatakan
Indonesia tidak mengalami masalah yang serius dalam politik – yang
paling utama adalah korupsi yang berurat-berakar – tetapi banyak
kemajuan yang telah dicapai, misalnya evolusi kebebasan pers,
berakhirnya dwi fungsi ABRI, tradisi pemilu yang jujur dan adil serta
desentralisasi kewenangan dan keuangan ke daerah.
Saat ini, Indonesia menghadapi tantangan besar yang tidak hanya
berkaitan dengan kwalitas demokrasinya, tetapi lebih serius dari itu,
dapat menentukan apakah demokrasi itu akan dapat bertahan. Kedua calon
presiden berasal dari tradisi politik yang bertolak belakang dalam
sejarah modern politik Indonesia, keduanya berjanji membawa Indonesia ke
arah yang sama sekali berlawanan.
Dua Pilihan
Kandidat yang memimpin survey pendapat publik saat ini adalah Joko
Widodo yang lebih dikenal sebagai Jokowi. Jokowi adalah produk murni
dari era demokratis. Dia sama sekali tidak berperan di kancah politik
sebelum masa reformasi, dan menapak karir sangat cepat sebagai politisi
setelah dua kali menjadi Walikota Solo dan sebagai Gubernur Jakarta –
sebuah karier politik nasional yang tidak mungkin bisa dicapai pada masa
otoritarian. Dikenal sebagai pribadi yang sederhana, merakyat dan
berasal dari lingkungan yang juga sederhana, Jokowi menunjukkan prestasi
di industri ekspor furnitur yang mengantarkannya memasuki dunia
politik. Gaya kepemimpinan Jokowi memberi perhatian kepada reformasi
birokrasi, peningkatan pelayanan publik, kesejahteraan sosial dan
penyelesaian konflik yang didasarkan melalui proses dialog.
Walaupun sulit menduga kebijakan Jokowi pada beberapa isu-isu krusial
(misalnya penyelesaian konflik di Papua), dia akan menjadi presiden
Indonesia pertama yang sama sekali tidak terlibat langsung dalam politik
praktis selama pemerintahan otoriter, dan sampai sejauh ini, presiden
yang paling reformis. Walaupun pemerintahan Jokowi kemungkinan tidak
akan membawa perubahan yang dramatis, paling tidak Jokowi akan memberi
perhatian yang serius kepada penguatan institusi-institusi demokratis
serta menjamin semakin bergulirnya roda birokrasi menjadi lancar dan
bersih.
Prabowo Subianto, lawan Jokowi satu-satunya, berjanji akan
menghormati proses demokrasi Indonesia. Tetapi, berkaca dari sejarah
pribadi Prabowo, retorikanya dan gaya kepemimpinannya selama ini,
pemerintahan Prabowo memiliki potensi besar untuk mengembalikan
Indonesia ke arah pemerintahan otoritarian. Berbanding terbalik dengan
Jokowi, Prabowo adalah produk murni dari otoritarianisme Orde Baru
Presiden Suharto (1966-1998). Prabowo adalah satu dari sedikit jenderal
paling senior pada masa berakhirnya Suharto, anak arsitek ekonomi pada
masa awal Orde Baru dan menikah dengan anak keempat Suharto, Titiek
Suharto. Adik Prabowo, Hasyim Djojohadikusumo, seperti kebanyakan
putra-putri penguasa Orde Baru lainnya, menekuni dunia bisnis, sementara
Prabowo disiapkan untuk meniti karir di Angkatan Darat. Hasyim menjadi
salah satu orang terkaya di Indonesia sekaligus sebagai penyandang dana
untuk mewujudkan ambisi Prabowo menjadi presiden. Prabowo juga menikmati
kehidupan yang mewah, tinggal di peternakannya yang sangat luas dan
mewah di Hambalang yang sekaligus menjadi istal bagi kuda-kudanya yang
mahal. Perlu dicatat, kedua kakak beradik ini menjadi kaya dari usaha
perburuan rente ekonomi, misalnya dari kayu dan sumber daya alam.
Pada tahun 1980an dan 1990an, Prabowo menikmati karir cemerlang di
Angkatan Darat, terutama akibat hubungan patronase dengan mertuanya,
Suharto. Pada pertengahan dan akhir 1990an, pada saat kekuatan Orde Baru
mulai melemah dan elemen masyarakat sipil mencari teman seperjuangan di
Angkatan Darat yang dapat diajak bekerja sama untuk perubahan
demokratis, tidak ada satupun yang menghitung Prabowo sebagai tokoh yang
reformis. Sebaliknya, Prabowo justru menjadi penjaga istana yang utama
dan pada bulan-bulan terakhir rezim Suharto, bertanggungjawab terhadap
penculikan aktifis reformasi yang beberapa diantaranya masih hilang
sampai saat ini. Presiden Habibie memberhentikan Prabowo sebagai
Komandan Komando Strategis Angkatan Daerat (Kostrad), sehari setelah
Suharto mengundurkan diri pada 22 Mei 1998, setelah ada laporan bahwa
Prabowo menggerakkan pasukannya mendekati Istana Negara, tanpa
persetujuan Panglima TNI. Prabowo diberhentikan dari militer sebagai
akibat dari perbuatannya menculik aktifis demokrasi dan
pembangkangan-pembangkangan lainnya.
Sejak awal tahun 2000an, setelah kembali dari luar negeri, Prabowo
bekerja keras untuk membangun karir politik. Sejak awal, dia sudah
membulatkan tekad untuk membidik kursi presiden. Percobaannya yang
pertama adalah menjadi calon Presiden untuk Pilpres 2004 yang
dinominasikan oleh Partai Golkar (yang menjadi mesin politik Orde Baru).
Setelah rencana ini gagal, Prabowo membangun kendaraan politiknya
sendiri melalui Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang
satu-satunya tujuannya adalah mengantarkan Prabowo ke Istana Negara.
Pada tahun 2009, Prabowo menjadi calon wakil presiden bersama Megawati
Soekarnoputri, walaupun sebenarnya tampak jelas saat itu bahwa tujuan
utamanya adalah menjadi presiden. Pada pemilu legislatif bulan April
lalu, Gerindra memperoleh 11,8%, tetapi hanya Prabowo yang berpotensi
untuk menjadi pesaing terdekat Jokowi dalam berbagai jajak pendapat.
Selanjutnya, Prabowo berhasil membangun koalisi lima partai besar yang
kemudian menominasikannya sebagai calon presiden.
Setahun lalu, Jokowi dibayangkan akan mudah meraih kemenangan dalam
pemilihan presiden tanpa halangan yang berarti. Jokowi menjadi
kesayangan media dan popularitasnya jauh melampaui kandidat-kandidat
potensial lainnya. Hanya saja, dalam enam bulan terakhir, kampanye
Prabowo mampu menaikkan popularitasnya secara signifikan. Walaupun
Jokowi tetap masih unggul, jarak antar keduanya menjadi semakin dekat
yang hanya berbeda satu digit. Saat ini, tak ada yang berani memastikan
bahwa Jokowi akan menang dalam pemilihan presiden. Dalam kondisi seperti
itu, kita perlu memikirkan secara serius tentang apa yang mendasari
meningkatnya daya tarik Prabowo dan bagaimana Pemerintahan Prabowo
memberi dampak terhadap Indonesia.
Kebangkitan Prabowo
Bagaimana kita mampu menjelaskan meningkatnya dukungan terhadap Prabowo
yang berlangsung begitu cepat? Salah satu jawabannya adalah tidak
terorganisirnya kampanye yang dilakukan oleh kubu Jokowi sebagaimana
argumen dosen Australian National University,
Marcus Mietzner.
Sebaliknya, kampanye Prabowo terorganisir rapih dan hanya memiliki satu
tujuan jelas yaitu untuk menjadikan Prabowo Presiden dan mendapatkan
dana yang melimpah sejak awal. Adik Prabowo, Hasyim telah memompakan
dana tak terhingga, bahkan ketika popularitasnya semakin meningkat,
Prabowo mampu mengkonsolidasi tambahan dana dari kekuatan oligarki dan
sekutu politiknya. Prabowo juga berhasil mendapatkan dukungan dari dua
konglomerat media utama Indonesia dengan siaran bias yang secara
gamblang mendukung kampanye Prabowo. Bahkan Prabowo tampak pada
penyerahan hadiah utama pada acara final
Indonesian Idol (harus
diakui pula bahwa kanal berita yang dimiliki Surya Paloh juga sama
biasnya mendukung Jokowi). Selain itu pasukan media sosial bayaran
memenuhi dunia maya dengan material pro-Prabowo dan melawan isu-isu
negatif tentang Prabowo; selama berbulan-bulan media elektronik juga
dipenuhi oleh iklan untuk menaikkan citra positif Prabowo.
Juga semakin jelas bahwa gaya dan pesan khas Prabowo berhasil menarik
simpati sebagian rakyat Indonesia. Prabowo memposisikan dirinya secara
sangat berbeda dengan elit politik Indonesia lainnya. Salah satu yang
paling nampak adalah gaya kampanye Prabowo yang menonjolkan pesan kuat
ceremonial khas, lengkap dengan marching band dan parade bergaya
militer; Prabowo juga berbusana meniru Sukarno dan para pahlawan
nasionalis lainnya di jaman perjuangan kemerdekaan pada tahun
1940-1950an; dia bahkan menggunakan mikrofon model lama yang mirip
dengan yang digunakan Sukarno puluhan tahun lalu. Selain elemen-elemen
khas ini, setidaknya ada tiga hal yang membedakan Prabowo dengan
politisi-politisi Indonesia pada umumnya.
Pertama, inti pesan yang ingin disampaikan. Prabowo mempromosikan
gabungan antara tema nasionalisme dan populisme yang sering digunakan
ole politisi demagog di seluruh dunia. Dalam setiap kampanyenya, dia
selalu menekankan tema nasionalisme, bahwa Indonesia memiliki kekayaan
alam yang dieksploitasi sekian lama oleh bangsa lain, menjadikan rakyat
sebagai “kacung” di negeri sendiri. Kekayaan Indonesia selalu dihisap
untuk kepentingan bangsa asing dan sekaranglah saatnya, begitu Prabowo
berpidato, untuk berdiri di atas kaki sendiri dan mengembalikan
kehormatan dan kedaulatan bangsa. Dia juga berbicara panjang lebar
tentang kesulitan yang dihadapi kaum miskin dan bagaimana mereka
menderita sebagai akibat dari korupsi, neoliberalisme, neokapitalisme,
pengaruh asing dan penyakit-penyakit lainnya. Kekayaan Indonesia telah
dicuri dari rakyat Indonesia; dan sudah saatnya sekarang untuk
mengambilnya kembali dan dinikmati oleh rakyat Indonesia.
Tidak ada yang aneh dari pesan Prabowo ini: dukungan terhadap “wong
cilik” dan hujatan terhadap korupsi adalah tema standar dalam
perpolitikan di Indonesia. Hanya saja, gaya bahasa yang digunakan
Prabowo jauh lebih dramatis –bahkan militan- daripada yang digunakan
oleh para politisi lainnya. Yang lebih tidak biasa adalah bahwa Prabowo
menyampaikan kritik ini berbarengan dengan hujatan terhadap seluruh elit
politik yang dia gambarkan sebagai sangat korup dan hanya melayani diri
sendiri. Sebagaimana disampaikan pada pidatonya di Hari Buruh yang
terakhir:
“Terlalu lama…Bangsa Indoesia, elitnya
terlalu banyak bicaranya bohong… Bohong kepada rakyat! Bohong kepada
bangsa! Bohong kepada dirinya sendiri!”
Selanjutnya dia menambahkan, “Semua dikorupsi! Semua disogok! Semua pemimpin kita mau dibeli dan mau disogok!”
Membedakan dirinya dengan politisi yang lain yang membohongi rakyat, Prabowo berkata dengan berapi-api:
“Kita tidak bisa terlalu banyak
berharap dari elit kita. Mereka pinter bicara, saking pinternya, saking
pinternya, mereka jadi pinter bohong semua! Saya masuk politik terpaksa
saudara-saudara sekalian! Terpaksa!! Minta ampun politik ini! Dari
limabelas orang yang saya ketemu di politik, empatbelas orang bohong
semua!!!”
Saat berkampanye di Aceh, Prabowo mengatakan kurang lebih: “sangat
mudah mengontrol Indonesia. Yang anda butuhkan hanya membeli partai
politik!” Tentu saja ada ironi yang sangat mendalam dalam pidato ini:
Prabowo sendiri adalah produk teratas dari elit politik Indonesia dan
merupakan seorang oligark. Namun demikian tidak ada yang menolak
konsistensi dan kuatnya dari retorika Prabowo.
Hal ini membawa kita pada daya tarik Prabowo selanjutnya: semangat
berapi-api –kadang penuh amarah- dari cara Prabowo menyampaikan pesan
dalam pidatonya. Hal ini membedakan Prabowo dari politisi Indonesia
lainnya, terutama Presiden saat ini, Susilo Bambang Yudhoyono yang
selalu menyampaikan pidato secara terukur dan hati-hati sehingga sering
dikritik sebagai peragu dan juga Jokowi dengan gaya pribadinya yang
sangat sederhana. Pada kampanye di Medan, Sumatra Utara, yang menjadi
sorotan banyak pengamat, Prabowo mengutuk sangat keras “bangsa asing”
dan musuh-musuh masyarakat Indonesia yang mencuri uang rakyat, berlaku
curang, tidak pernah membela rakyat dan lain sebagainya, tetapi tidak
jelas siapa yang dimaksud dengan musuh tersebut.
Liam Gammon
berpendapat, “Ada sesuatu yang ada di benak Prabowo sehingga
satu-satunya kesempatan dia berusaha sangat keras sampai kehilangan
kontrol emosional adalah ketika berbicara tentang “kalian” (tanpa
menjelaskan siapa yang dimaksud dengan “kalian”) yang berkonspirasi
untuk mencuri kekayaan bangsa Indonesia dan curang kepada rakyat
Indonesia.” Prabowo tidak terlihat bersandiwara dalam acara kampanye
tersebut; dia terlihat hanyut betul dalam emosi pribadi yang berapi-api.
Bahkan, Prabowo seperti terlihat sedang membayangkan musuh pribadinya.
Kekuatan ini juga memiliki potensi kelemahan. Prabowo mudah
terpancing emosinya, atau bahkan memiliki pribadi yang tidak stabil. Dia
gampang mengamuk dan kadang memperlihatkan kekerasan fisik, cerita yang
berasal dari lingkaran dalam Prabowo yang kemudian menyebar menyebutkan
bahwa dia memukul, melempar telepon genggam dan asbak ketika
dikecewakan kawan atau bawahannya. Beberapa orang yang pernah menjadi
rival Prabowo ketika masih di milter menyebutkan karakter negatif
Prabowo secara terbuka, salah satunya A. M. Hendropriyono (yang
sebenarnya juga memiliki jejak hitam hak azazi manusia), menyebut
Prabowo sebagai “psikopat.” Tekanan emosional yang dimiliki Prabowo
ketika berpidato berpotensi menjadi pedang bermata dua dan bisa
menciptakan antipati di benak pemilih, terutama pemilih perempuan. Namun
demikian, tidak dapat diragukan bahwa bahwa banyak rakyat Indonesia
–terutama yang miskin- menikmati pertunjukan pidato yang tidak lazim
dari seorang tokoh nasional yang merepresentasikan diri mereka dalam
menghujat para elit dan politisi yang mereka benci.
Daya tarik Prabowo yang ketiga terletak pada janji penyelesaian
terhadap semua persoalan tersebut yaitu: kepemimpinan yang “tegas” dan
“kuat.” Bahkan kita bisa menyebut bahwa janji kepemimpinan yang tegas
dan kuat tidak hanya menjadi sentral, tetapi bahkan menjadi satu-satunya
poin paling penting dalam program politik dan strategi pemerintahan
Prabowo. Dalam analisis terbaru dari sejarawan University of British
Columbia,
John Roosa,
dia berargumen bahwa, “Dalam benak Prabowo, semua yang berkaitan dengan
negara –kualitas sistem ekonomi, budaya, dan pijakan internasional-
bergantung sepenuhnya kepada ‘faktor kepemimpinan’. Satu-satunya solusi
dari seluruh masalah bangsa adalah ‘kepemimpinan nasional yang kuat.’”
Selain itu, pidato Prabowo sering merujuk dan memuji kepada dirinya
sendiri, sesuatu yang tidak biasa dalam politik Indonesia, dia juga
sering bertanya kepada pendengarnya apakah dia “terlalu keras” atau
“terlalu tegas” dalam penghujatannya.
Dalam pembicaran dengan masyarakat umum dalam beberapa bulan terakhir
yang saya lakukan, semua orang yang mengaku mendukung Prabowo selalu
mengulang kata-kata yang sama: Indonesia membutuhkan pemimpin yang
tegas, yang bisa memberantas korupsi, yang berani terhadap bangsa asing,
yang tidak mengulang kesalahan atas lepasnya Timor Timur dan lain
sebagainya. Survey pendapat publik juga menujukkan bahwa kepemimpinan
yang tegas adalah faktor utama yang menyebabkan dukungan luar biasa ke
Prabowo. Sebuah ironi tentu saja, bahwa semua yang dibicarakan Prabowo
tentang kepemimpinan, tidak memiliki rujukan apapun dalam karirnya
selama enambelas tahun terakhir, kecuali kepada partai politik yang
telah menyediakan Prabowo platform politik. Posisi terakhir Prabowo saat
menduduki posisi senior dalam lembaga negara adalah dia dipecat dari
jabatannya itu.
Ancaman terhadap Demokrasi?
Untuk menduduki kursi Presiden, Prabowo menggunakan mekanisme
demokratis. Beberapa waktu lalu, dia menekankan bahwa dirinya menerima
sistem demokrasi yang berlangsung di Indonesia, dan dia berjanji untuk
terus mempertahankannya. Jika berkuasa, Prabowo akan didukung koalisi
partai politik yang memiliki kepentingan untuk mempertahankan
partisipasi demokratis. Dia juga akan menjadi presiden di sebuah sistem
politik yang memiliki sistem
checks and balances, kebebasan pers
yang kuat dan masyarakat sipil. Lalu, mengapa kita harus khawatir
terhadap implikasi Prabowo menjadi presiden terhadap demokrasi di
Indonesia?
Alasan paling nyata adalah masa lalu otoritarian Prabowo dan rekam
jejaknya dalam pelanggaran hak asasi manusia. Kritik dari masyarakat
sipil di Indonesia berfokus pada hal ini dan Prabowo menjadi marah dalam
Debat Calon Presiden pertama saat calon wakil presiden Jokowi, Jusuf
Kalla berusaha memancingnya dalam isu hak asasi manusia.
Kekhawatiran lainnya terkait dengan program Prabowo yang mengandung
elemen yang nyata-nyata tidak demokratis. Misalnya, Prabowo berkali-kali
menyampaikan bahwa dirinya ingin kembali kepada UUD 1945 yang “asli”
yang ditandatangani pada 18 Agustus 1945. Dengan kata lain, dia ingin
kembali kepada konstitusi yang memberikan konsentrasi kekuasaan di
tangan presiden dan menghilangkan seluruh institusi demokrasi dan
kontrol yang ada dalam sistem demokrasi Indonesia saat ini, yang
sebagian besar dihasilkan dari empat kali amandemen yang dilakukan sejak
1998.
Prabowo juga sering menegaskan bahwa demokrasi, atau paling tidak
versi demokrasi yang dipraktekkan di Indonesia, adalah sumber utama
korupsi dan penyakit bangsa lainnya. Dalam Debat Capres Pertama, Prabowo
mengkritik demokrasi “destruktif” dan mengatakan bahwa dia ingin
membangun demokrasi yang “produktif”. Selain itu, dalam reuni
purnawirawan tentara beberapa waktu lalu, dia mengatakan bahwa demokrasi
telah “membuat kita capai”.
Bahaya utama, terletak pada kombinasi antara tekanan Prabowo terhadap
prinsip kepemimpan tegas dan apa yang kita ketahui tentang
personalitasnya. Sangat jelas terlihat bahwa Prabowo memposisikan
dirinya sebagai solusi dari seluruh permasalahan bangsa dan percaya
bahwa mewujudkan keinginannya sebagai presiden adalah kunci untuk
menciptakan kejayaan nasional. Pada saat yang sama, pernyataan publiknya
yang sering menghujat musuh yang tidak dia sebut namanya , mengandung
ancaman implisit pada aktor politik lain. (Sebagai contoh, saat
dikonfirmasi oleh jurnalis, Prabowo sering tidak menjawab pertanyaan
mereka tetapi justru menanyakan dari media mana jurnalis itu berasal,
seperti sedang menyusun daftar pribadi mereka yang memperlakukannya
secara tidak hormat). Ditambah lagi, kecenderungan pribadi yang mudah
tersulut amarah yang dapat berubah menjadi murka saat tidak mendapatkan
apa yang dia inginkan. Maka kita punya alasan kuat untuk memprediksi
bahwa Prabowo akan menjadi presiden yang tidak sabar terhadap prosedur
demokratis dan penghukum keras terhadap lawan-lawan politiknya.
Pada awal tahun pertama dan kedua masa pemerintahannya mungkin akan
berjalan cukup lancar. Tetapi setelah beberapa saat, begitu dia menemui
frustasi dan kompromi yang selalu muncul dalam kehidupan demokratis
-saat dia menemui jalan buntu berhadapan dengan DPR, MK, media dan
institusi lainnya- sangat mudah membayangkan Presiden Prabowo akan
mengambil jalan pintas atau tindakan darurat untuk menyingkirkan semua
rintangan itu. Bahkan saat ini saja, sudah ada militer aktif, Bintara
Pembina Desa (Babinsa) yang berkampanye untuknya dan nantinya akan
sangat mudah bagi Prabowo sebagai presiden untuk mengaktifkan kembali
“struktur territorial” dan mengembalikan tentara dalam politik.
Tentu saja, pemerintahan Prabowo tidak akan menjiplak Orde Baru
Suharto; Indonesia telah mengalami perubahan besar sejak Orde Baru dan
akan muncul penolakan sangat kuat terhadap upaya untuk kembali ke masa
otoritarian. Tetapi salah satu tren global dalam beberapa dekade
terakhir adalah kemunculan apa yang disebut sebagai rezim elektoral
otoritarian (
electoral authoritarian regime): sebuah sistem
dimana pemilu tetap berlangsung tetapi kebebasan sipil dan partisipasi
demokratis dimanipulasi untuk memungkinkan elit untuk terus menerus
berkuasa. Membayangkan tentang Rusia di bawah Putin, kita mungkin akan
memperoleh gambaran jelas tentang bagaimana wujud pemerintahan Prabowo
kelak.
Bagaimana hal ini bisa terjadi?
Tentu saja, tidak ada yang aneh dari nostalgia otoritarian masa
lalu, atau bahkan kembalinya secara penuh sistem otoritarian, sekitar
satu dekade atau lebih setelah sebuah negara menjalani transisi
demokratis. Ilmuwan politik telah lama berspekulasi tentang akan
hadirnya tantangan populis dalam sistem demokratis Indonesia. Namun
demikian, banyak pengamat politik Indonesia kontemporer –termasuk saya
salah satunya- selama beberapa tahun terakhir cenderung berpandangan
positif dalam melihat capaian-capaian demokrasi di Indonesia. Banyak hal
yang sudah tercapai : kebebasan pers yang terus membaik dan munculnya
sebuah masyarakat sipil yang kuat. Upaya untuk menggagalkan proses
demokratisasi hampir selalu dikalahkan oleh perlawanan publik. Demokrasi
Indonesia sepertinya terus terkonsolidasi.
Pada saat yang sama, masalah-masalah serius yang terlihat jelas terus
menjadi topik dalam banyak analisis akademik. Sekarang, beberapa
masalah ini ikut berperan dalam mendongrkak popularitas Prabowo.
Walaupun Prabowo tidak memenangkan pilpres pada bulan Juli, fakta bahwa
Prabowo sudah tinggal selangkah lagi menduduki kursi kepresidenan, harus
menjadi pengingat kita bahwa ternyata demokrasi Indonesia jauh lebih
rapuh dari yang kita bayangkan. Tiga area berikut sepertinya sangat
penting untuk menjelaskan meningkatnya dukungan terhadap Prabowo.
Pertama adalah “transitional justice” yaitu tugas untuk
menginvestigasi dan menghukum pejabat yang bertanggungjawab terhadap
pelanggaran hak asasi manusia masa lalu. Indonesia gagal total dalam
menangani masalah ini. Setelah kejatuhan Suharto, terdapat banyak
investigasi, bahkan beberapa sampai ke proses pengadilan, tetapi pada
akhirnya tidak ada satupun perwira senior di militer atau pejabat yang
lainnya yang dinyatakan bersalah atas kasus pelanggaran hak asasi
manusia dibawah rezim Orde Baru, walaupun begitu banyak kasus tersebut
terdokumentasi dengan sangat baik. Bahkan, bisa dikatakan bahwa harga
yang harus dibayar untuk mengeluarkan militer dari politik adalah
garansi informal bahwa tidak ada satupun pemimpinnya yang dapat dihukum
atas kesalahan yang dilakukannnya di masa lalu. Fakta bahwa seseorang
seperti Prabowo, yang limabelas tahun lalu sangat didiskreditkan sampai
dia harus meninggalkan Indonesia, sekarang sanggup bertarung untuk
memperebutkan kursi presiden adalah contoh nyata dan sekaligus
konsekuensi dari kegagalan ini.
Beberapa dari tokoh yang sekarang menjadi lawan politik Prabowo patut
disalahkan dalam situasi ini: pada tahun 2009 Megawati Soekarnoputri
memilih Prabowo sebagai calon wakil presidennya, memberikan pesan jelas
bahwa bagi Megawati dan partainya, buruknya catatan pelanggaraan hak
asasi manusia tidaklah signifikan secara politik. Tahun ini, pendukung
Prabowo bertanya, dengan beberapa justifikasi, jika PDIP yang mendukung
Jokowi tidak mempermasalahkan rekam jejak hak asasi manusia Prabowo
waktu itu, mengapa mereka mempermasalahkannya sekarang?
Kedua adalah korupsi politik yang tidak hanya luas tetapi juga
mendalam. Selama sekian tahun, hampir setiap hari, anda dapat membuka
halaman pada semua koran besar di Indonesia dan tersinggung dengan
berita tentang korupsi dana haji, skandal impor sapi, korupsi tanah,
penyelundupan bahan bakar minyak, korupsi alat kesehatan, mark up buku
teks, penggelembungan proyek bangunan rumah sakit atau gedung olahraga –
apapun bisa dikorupsi di Indonesia. Mereka yang terlibat termasuk yang
tertinggi dari kementrian sampai yang terendah pejabat daerah dan
pegawai negeri sipil. Walaupun sebenarnya, liputan media yang masif
sejatinya adalah tanda berlangsungnya perang melawan korupsi. Namun
demikian, dapat dimaklumi jika rakyat Indonesia akan mudah untuk percaya
bahwa demokrasi telah melahirkan sistem politik di mana apa saja dan
siapa saja bisa dibeli, seperti yang berulang kali diucapkan Prabowo.
Bahkan berjalannya pemilu legislatif bulan April lalu, yang diiringi
dengan politik uang yang dan manipulasi yang begitu massif, menjadi
bahan dasar utama bagi naiknya popularitas Prabowo. Tidak heran ketika
begitu banyak rakyat Indonesia –terutama golongan miskin- setuju dengan
hujatan yang disampaikan Prabowo terhadap elit politik, dan janjinya
untuk memberantas korupsi melalui kepemimpinan yang tegas, walaupun
sejatinya Prabowo sendiri terlibat aktif dalam jaringan bisnis dan
patronase Orde Baru.
Ketiga, dan berhubungan sangat erat, adalah gaya politik
transaksional yang telah menjadi bagian sentral dalam demokrasi
Indonesia. Lebih nyata daripada yang banyak terjadi di negara lain,
institusi politik formal di Indonesia bercirikan, apa yang disebut
ilmuwan politik dari Amerika Serikat, Dan Slater sebagai “
promiscuous power sharing”
yaitu kecenderungan partai yang memiliki basis ideologi dan basis
sosial yang berbeda untuk menyingkirkan perbedaan yang mereka miliki
guna memperoleh akses bersama terhadap patronase sumberdaya yang
ditawarkan oleh pemerintah. Dalam politik Indonesia, sepertinya tidak
ada aliansi politik yang dibangun berdasarkan prinsip atau kebijakan
yang sama; sebaliknya, semua tergantung pada negoisasi dan deal politik.
Sebagian besar kabinet yang dibangun setelah Suharto jatuh berbentuk
“kabinet pelangi” dimana hampir semua partai besar terwakili. Sistem ini
membantu Prabowo untuk memunculkan kekecewaan publik seperti yang
selama ini dihujatnya, tetapi pada saat yang sama membantu Prabowo untuk
mewujudkan koalisi politiknya karena kebiasaan partai-partai politik di
Indonesia untuk melakukan aliansi dengan siapa saja tanpa melihat
prinsip. Selain Gerindra, partainya, empat partai besar lainnya
mendukung pencalonan Prabowo: Golkar, PAN, PKS dan PPP (tiga yang
terakhir adalah partai Islam). Terdapat potensi otoritarian dalam setiap
partai-partai ini, namun seharusnya sebagian dari pemimpinnya akan
enggan untuk mendukung pemimpin yang berpotensi untuk memunculkan
kembali politik bergaya Orde Baru, karena sebagian dari pemimpin mereka
(terutama dari PAN dan PKS) terlibat langsung dalam gerakan untuk
menjatuhkan Suharto.
Lebih lanjut, Prabowo mungkin pada akhirnya akan mengancam sistem
demokratis yang telah menguntungkan partai-partai ini. Dia sudah
berhasil memperdaya mereka, tentu saja, dengan tawaran posisi menteri
dan posisi lain di pemerintahannya. (Bakrie misalnya, dengan bangga
mengatakan bahwa Prabowo telah menawarinya sebagai “menteri utama”,
posisi yang tidak dikenal sebelumnya). Pendeknya, Prabowo telah
membangun koalisi dengan menggunakan politik dagang sapi yang dihujatnya
sendiri. Sebaliknya, Jokowi menolak menggunakan cara tawar-menawar
untuk membangun koalisi politik dengan partner potensial, sehingga dia
kehilangan dukungan dari PAN dan Golkar.
Hal ini hanyalah salah satu dari ironi-ironi lainnya yang mendalam-
bahkan sebagian orang akan menyebutnya sebagai kemunafikan – dalam
tantangan demokrasi yang diajukan Prabowo. Prabowo telah berhasil
mengatur mobilisasi koalisi besar, termasuk di dalamnya kekuatan politik
yang mendapatkan manfaat besar dari reformasi demokratis dan dari iklim
politik dagang sapi serta korupsi yang dikutuknya dengan dengan sangat
keras. Sebagai contoh, jika kita memberi perhatian mendalam kepada calon
legislatif dan tim sukses dari Partai Gerindra di daerah, dapat dengan
mudah terlihat bahwa sebagian besar dari mereka bukanlah pendukung ide
populis atau ideologi yang digembar-gemborkan Prabowo tentang Indonesia
yang kuat dan bersih. Sebagian besar dari mereka hanya menjadikan
Gerindra sebagai kendaraan politik terbaru setelah perjalanan politik
yang panjang melalui berbagai partai politik. Pengalaman tersebut
menjadikan mereka menjadi ahli dalam politik uang, sama seperti politisi
lainnya. (Dalam penelitian saya di salah satu Daerah Pemilihan di Jawa
Tengah di awal tahun ini, caleg lokal dari Gerindra yang paling masif
melakukan serangan fajar). Jika Prabowo adalah versi modern dari Hitler
atau Mussolini – sebagaimana meme yang tersirkulasi di media sosial
diantara kaum liberal di Indonesia sebagai bahan guyonan- dialah
satu-satunya yang memperoleh kekuasaan tanpa adanya dukungan dari partai
pendukung yang memiliki ideologikuat.
Hal tersebut adalah kontradiksi besar dalam intisari tantangan
demokrasi yang diajukan Prabowo. Kampanyenya sangat kuat membawa
semangat populisme, anti sistem dan anti elite, disampaikan dengan gaya
pidato yang menggebu-gebu. Tetapi kampanye Prabowo muncul dari jantung
dari sistem dan elit Indonesia. Kontradiksi ini adalah puncak dari
seluruh kelemahan Prabowo. Ketika dia mengutuk “elit politik” dalam
kampanyenya, berbaris dibelakangnya deretan pemimpin partai politik yang
paling tepat mempersonifikasikan elit politik yang dikutuknya
itu-termasuk di dalamnya perwakilan yang paling tidak popular, seperti
ketua Partai Golkar, Aburizal Bakrie. Ketika Prabowo mengutuk korupsi,
mereka yang mengikuti politik akan dengan sekejap tahu bahwa partai atau
ketua partai yang saat ini berada di belakangnya adalah mereka yang
terkena implikasi dari kasus korupsi yang paling buruk di Indonesia.
Dalam debat calon presiden yang pertama, Prabowo mengatakan bahwa
ekonomi Indonesia “salah urus”: berdiri persis di sampingnya cawapresnya
Hatta Rajasa, Menteri Koordinator bidang Perekonomian dalam
pemerintahan SBY. Pendukung Jokowi sangat cepat melihat kontradiksi
tersebut, yang secara cepat bersirkulasi di media sosial dalam bentuk
gambar dan sindiran terhadap Prabowo dan aliansi barunya.
Masih jauh dari pasti bahwa Prabowo akan memenangkan Pilpres. Dalam
setiap pemilih yang terkesima dengan pidato penuh amarah Prabowo dan
janji pemerintahan yang kuat, masih terdapat setidaknya satu pemilih
yang lebih tertarik dengan gaya Jokowi yang merakyat. Namun demikian,
pertarungan masih berlangsung dan akan menjadi momentum sangat penting.
Di Indonesia 2014, penggunaan kata kata seperti “turning point” atau
“titik putar” yang sering digunakan dalam diskusi politik sepertinya
sangat sesuai. Apapun pilihan yang dilakukan oleh pemilih Indonesia akan
memiliki konsekuensi yang sangat besar. Kemenangan Jokowi akan
meneruskan proses pelan dalam konsolidasi sistem demokrasi dan akan
memberikan pengaruh signifikan dalam peningkatan kualitas institusi
demokratis. Kemenangan Prabowo akan membawa resiko besar akan munculnya
kembali pemeritahan otoriter. Dunia luar harus khawatir dengan
kemunduran ini, tetapi pada akhirnya, kerugian terbesar akan ditanggung
oleh rakyat Indonesia sendiri.
Edward Aspinall adalah dosen dan peneliti politik Indonesia di
Australian National University dan penerima Australian Research Council
Future Fellow.
Artikel ini sebelumnya telah dimuat di Inside Story.