yunusst memberikan inspirasi kepada anda

Tutorial

Tuesday 10 September 2013

Siapa Pemberontak Suriah?

Ada sentimen nasionalisme muncul jelang
serangan AS.
Mewarisi kekuasaan Partai Baath dari
mendiang ayahnya, Assad sejak Maret 2011
menjadi target kemarahan sebagian rakyat.
Renne R.A Kawilarang | Jum'at, 6
September 2013, 22:18 WIB
VIVAnews – Dalam
keadaan boyak, Suriah kini menanti
nasibnya. Selama dua tahun lebih,
negeri itu pecah oleh perang
saudara. Sekitar 100 ribu orang
tewas akibat konflik bersenjata
oposisi, dan rezim Bashar al-Assad.
Jutaan orang mengungsi.
Dari Washington DC, Presiden AS
Barack Obama menyerukan AS siap
menyerang Suriah pekan lalu. Ada
senjata kimia meletup di wilayah
oposisi, 21 Agustus 2013. Ribuan
warga sipil dilaporkan tewas. Obama
menunggu keputusan Kongres AS
untuk satu perang baru di Timur
Tengah. Jazirah kaya minyak itu pun
kian membara.
Mewarisi kekuasaan Partai Baath dari
mendiang ayahnya, Assad sejak
Maret 2011 menjadi target
kemarahan sebagian rakyat. Selama
berhari-hari dia didemonstrasi agar
turun dari kekuasaan setelah 13
tahun menjadi presiden. Assad
bergeming. Dia balas protes itu
dengan pengerahan kekuatan
militer. Oposisi pun lalu angkat
senjata.
Tapi di Damaskus, meski setiap hari
bunyi senapan dan meriam menyalak
di kejauhan, warga masih
berkegiatan seperti biasa.  Banyak
tempat usaha masih buka, walau pos
pemeriksaan militer ada di mana-
mana. Para remaja masih berkeliaran
di sudut-sudut kota, dan tempat
belanja.
Bela Assad
Bagi sebagian warga, perang saudara
di Suriah memang patut disesali.
Tapi bila mendapat serangan asing
seperti Amerika Serikat, apapun
alasannya, tindakan itu mesti
ditentang.
Dima, seorang warga Damaskus,
memilih tetap tinggal walau apapun
yang akan terjadi. Dia mengaku
telah mendengar rencana AS
menyerbu Suriah. Sambil menikmati
sepiring kebab ayam di sebuah
restoran di Salhiyeh, dia menegaskan
Damaskus tak akan runtuh.
"Damaskus adalah benteng, duri
bagi kaki Amerika," ujar perempuan
pelukis itu.
Menurut Obama, serangan militer ini
sebagai hukuman atas serangan
senjata kimia yang dilancarkan
pemerintah Bashar al-Assad kepada
rakyatnya sendiri di sebelah timur
Damaskus pada 21 Agustus lalu,
yang menewaskan lebih dari 1.400
orang. AS pun langsung menuduh
bahwa pelakunya adalah suruhan
Assad (Lihat: Gas Maut di Pinggir
Damaskus ).
Namun, seperti kebanyakan warga di
Damaskus yang merupakan pusat
pemerintahan Suriah, Dima yakin AS
hanya mencari-cari alasan
menginvasi Suriah sekaligus
menyingkirkan rezim Assad dari
kekuasaan.
Kendati sebagai pelukis, Dima
mengaku juga bisa mencium aroma
konspirasi dari rencana Obama. AS,
menurut Dima, sengaja ingin
menyerang Suriah agar bisa
menghantam "poros perlawanan"
atas Israel. Poros itu selama ini
digalang Damaskus bersama dua
sekutunya, Iran dan kelompok
Hisbullah di Lebanon.
Dia mengaku siap membela negara
bila diserang Amerika. Serangan itu
dia anggap upaya agresi atas negara
berdaulat seperti Suriah. Dima
menyatakan tidak gentar
menghadapinya. "Bila ada serangan,
saya akan sukarela bertempur
bersama tentara, untuk membantu
atau apapun," ujar dia.
Seorang warga lain Damaskus, Umm
Hassan, mengaku sudah bersiap bila
Amerika menyerang. Kerusakan
akibat serangan itu pasti ada. Tapi,
sebagai warga Suriah, dia wajib
membela negara.
"Tentu saja kami takut akan ada
korban jiwa dan banyak bangunan
hancur ... Namun kami akan tetap
tinggal dan akan melawan. Itulah
cara bagaimana kami akan
mengatasinya," ujar Hassan, seperti
dikutip Al Arabiya.
Ada pula warga terilhami pahlawan
nasional Suriah, Yussef al-Azmeh.
Dia dikenal berjuang melawan
pasukan kolonial Prancis hingga
Suriah merdeka. Sebagai
penghargaan, pemerintah mendirikan
patung al-Azmeh di Damaskus.
"Yussef al-Azmeh hanya punya
beberapa pucuk senjata dan dia tak
pernah menyerah kepada Prancis.
Kami akan berbuat yang sama," kata
Abu Firas, warga lain di Damaskus.
Suasana seperti ini membuat
sebagian warga juga teringat akan
Perang Arab-Israel 1973. Sebagai
negara Arab, Suriah pun terlibat
dalam perang itu.
Seorang pria bernama Mazen
mengenang 40 tahun silam saat dia
masih berusia 14 tahun. Dulu dia
kerap naik ke atap rumah
orangtuanya melihat jet-jet tempur
Israel melintas untuk mengebom
posisi pasukan Suriah.
"Keyakinan kami akan menang justru
lebih kuat dari kekuatan militer,"
kata Mazen. "Bahkan bila ada
pertumpahan darah, Damaskus akan
bertahan. Walau mereka datang
dengan tank, mereka harus langkahi
dulu mayat kami," kata pria yang
berprofesi sebagai insinyur itu,
sambil melirik judul berita-berita
utama sebuah koran pro pemerintah
Suriah di suatu kios di Damaskus.
Memang, beberapa hari terakhir
pemerintah terus menggosok
sentimen nasionalisme. Selain di
surat kabar, stasiun televisi kerap
mengedepankan berita mengenai
"perlawanan" yang disiapkan
pemerintah menghadapi ancaman
"agresor". Tentu, propaganda itu
disertai tayangan pasukan Suriah
terlibat dalam pertempuran.
Sudah buruk
Intervensi AS memang dilematis. Di
satu sisi, ada risiko keadaan Suriah
jadi lebih buruk akibat serangan AS.
Tapi, tanpa campur tangan Amerika
pun keadaan sudah sangat buruk.
Korban jiwa terus bertambah. Perang
saudara pun masih belum ada
tanda-tanda akan selesai.
Kelompok relawan di Lebanon
mengungkapkan negeri mereka
kedatangan sekitar 80 hingga 120
keluarga asal Suriah setiap hari,
sejak serangan senjata kimia pada 21
Agustus lalu. Jumlah itu dua kali
lipat dari sebelum serangan, yang
diduga kuat memakai senjata kimia,
di daerah Ghouta (Lihat Infografik:
Maut Senjata Kimia).
Tak heran bila UNHCR mencatat
pengungsi Suriah kini mencapai
lebih dari dua juta jiwa. Jumlah itu
terus membengkak, lantaran tiga
bulan terakhir angkanya bertambah
sebanyak 500 ribu pengungsi.
Stasiun BBC melaporkan pada 3
September 2013, sebagian besar
pengungsi adalah anak-anak, berusia
di bawah 11 tahun.
Korban jiwa di Suriah saat ini
menembus angka 100 ribu orang,
demikian catatan PBB. Solusi damai
belum ditemukan, sementara korban
terus berjatuhan. Bahkan, ungkap
Asisten Sekjen Badan HAM PBB, Ivan
Simonovic, 5.000 orang kehilangan
nyawa setiap bulan di Suriah.
Anti Assad
Bila di Damaskus masih relatif
normal, suasana berbeda terlihat di
Aleppo dan sejumlah kota Suriah
yang menjadi basis kelompok anti-
Assad. Kota-kota itu menjadi medan
perang antara pasukan pemerintah,
dengan kelompok-kelompok
bersenjata anti-Assad. Rakyat sipil
pun jadi korban.
Di sejumlah kota di luar Damaskus,
rezim Assad justru sangat tidak
populer. Bahkan ada yang tidak
keberatan, kalau AS segera beraksi di
negeri mereka, menyerang Assad dan
para pasukannya.
Komentar itulah yang terlontar dari
Ahmad Kuliyeh. Lagipula, sebelum
AS menyerang pun, negerinya sudah
porak-poranda. "100.000 orang
tewas, jutaan kehilangan tempat
tinggal dan negeri itu hancur. Habis
sudah," kata Ahmed. Dia terbaring
lemas di ranjang rumah sakit di Dar
el-Shifaa. Dia terkena pecahan bom,
dan sudah lebih tiga pekan dirawat
di sana. Satu kakinya hancur. Salah
satu lengannya pun dibalut perban.
Namun, bila ada pilihan, Ahmed
mengatakan akan lebih baik bila AS
memberi dia dan teman-temannya
senjata, terutama rudal anti
pesawat. "Bila kalian beri kami
senapan, kami tidak butuh (militer)
Obama," kata Ahmad, pemuda
berusia 26 tahun yang memanggul
senjata melawan pasukan
pemerintah seperti dikutip USA
Today.
Warga lain, Mohammad Agol,
berharap AS jangan tanggung jika
menyerang pasukan Assad. Bila
serangannya lemah, Assad akan
muncul lebih kuat lagi. "Dan dia
pada akhirnya akan membantai lebih
banyak lagi," kata Agol, kepada koran
yang sama.
Mereka berharap serangan AS hanya
ke Assad dan pasukannya saja.
Jangan warga tidak bersalah jadi
korban, seperti dilakukan pasukan
Assad selama ini.
Siapa pemberontak Suriah?
Ada beberapa kelompok bersenjata
di Suriah yang dalam beberapa
tahun terakhir gencar angkat senjata
melawan pasukan pemerintah.
Mereka bergandengan dengan para
politisi musuh rezim Assad. Salah
satu kelompok utama bersenjata itu
adalah Pasukan Suriah Merdeka
(FSA).
Beranggotakan sekitar 80.000 orang,
FSA ini diperkuat oleh para perwira
militer yang membelot dari pasukan
pemerintah. Pemimpinnya, Salim
Idris, adalah jenderal angkatan darat
Suriah sebelum membelot pada Juli
2012. Idris pun ikut membentuk
Koalisi Pasukan Revolusioner dan
Oposisi Suriah pada November 2012.
Idris telah berdinas di Angkatan
Darat Suriah selama 20 tahun lebih.
Dalam wawancaranya dengan The
New York Times , satu peristiwa tragis
membuatnya membelot. Pasukan
pemerintah pada Mei 2012
menyerang desa al-Mubarakiyah
guna menghabisi para pemberontak.
Itu adalah desa tempat Idris dan
delapan saudaranya dibesarkan oleh
orangtua mereka. Dia mengontak
sesama jenderal yang memimpin
serangan, agar menghentikan
penyerbuan itu.
Tapi tidak ada yang menanggapi.
Pasukan pemerintah membunuh tiga
orang, dan menangkap 70 lainnya.
Termasuk saudara ipar Idris satu-
satunya. Dia saat itu tidak pernah
dibebaskan.
Idris, yang saat itu menjadi kepala
akademi militer di Aleppo, tak
percaya dengan kabar itu. Tapi dia
tidak berani mengutarakannya
kepada sesama perwira. "Saya tak
bisa berkata kepada mereka, bahwa
militer saat itu datang, dan
menghancurkan desa. Mereka pasti
akan menangkap saya, dan menuduh
saya menjadi pengkhianat yang
mendukung revolusi," kata Idris.
Batin Idris tertekan. Dia pun
membelot. Dia menguras tabungan,
yang disiapkan untuk membiayai
rumah baru bila pensiun, untuk
membiayai pasukan pemberontak.
Namun, Idris tidak sendiri. Para
perwira lain mengikuti langkahnya
itu.
Sejak bergabung ke FSA, Idris aktif
melobi AS, termasuk ke Presiden
Barack Obama, Menlu John Kerry,
dan Dewan Keamanan PBB, agar
menggugah masyarakat dunia untuk
turun tangan dan membantu
kelompok anti Assad yang dia
pimpin.
Itu sebabnya Idris kini jadi mitra
andalan Amerika. Dalam suatu rapat
di Kongres pada 4 September lalu,
Menteri Luar Negeri John Kerry
menerima pertanyaan yang sengit
dari seorang anggota DPR. "Siapa sih
pasukan pemberontak itu? Siapa
mereka? Saya selalu tanyakan hal ini
di setiap rapat," tanya Michael
McCaul, anggota DPR dari Partai
Republik yang mewakili negara
bagian Texas.
Kerry menyebut satu nama, Jenderal
Salim Idris. "Dia menjalankan sayap
militer dari kekuatan oposisi," kata
Kerry, seperti dikutip Reuters.
Sebenarnya bukan hanya Idris yang
memimpin perlawanan atas Assad.
Namun, bagi AS, kelompok
bersenjata yang digalang Jenderal
Idris itulah yang paling moderat.
Selebihnya adalah kelompok-
kelompok militan berhaluan ekstrem.
Harian Independent memaparkan,
ada sejumlah kelompok bersenjata
anti Assad, yang juga Anti Amerika.
Salah satunya adalah Jabhat al-
Nusra, yang dipimpin oleh Abu
Mohammed al-Golani. Kelompok ini
punya ribuan pendukung, dan
berafiliasi dengan al-Qaida. AS
pernah mencatatnya sebagai
kelompok teroris sejak Desember
2012.
Selain itu, kalangan politisi di AS
juga mencurigai milisi tertentu yang
menjadi sekutu FSA dalam
memerangi pasukan Assad. Kelompok
itu adalah Brigade Tawhid. Seperti
dikutip NBC News , kelompok ini
terkait erat dengan al-Nusra.
"Ini fakta tidak mengenakkan. Tidak
setiap kelompok dalam FSA,
bersekutu dengan kepentingan AS di
kawasan ini," kata Evan Kohlman,
pengamat keamanan, dan juga
konsultan NBC untuk isu terorisme.
(np)

Share:

0 comments:

Post a Comment

Jangan Lupa untuk selalu komen di blog yunusst

Translate

Arquivo do blog

Total Pageviews

Facebook