Pemerintah akan menarik pajak untuk bahan pokok. Pedagang pasar protes dengan rencana ini. Mereka menilai kebijakan tersebut sangat tidak pas jika dilakukan dalam kondisi pandemi COVID-19.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menilai jika rencana ini juga bisa memukul proses pemulihan ekonomi nasional yang saat ini sedang terjadi.
Dalam draft RUU Perubahan Kelima atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) disebutkan barang kebutuhan pokok akan dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN).
Dikutip detikcom, pada Pasal 4A, barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat dihapus dari barang yang tidak dikenai PPN. Dengan begitu, artinya sembako akan dikenai PPN.
Ganggu pemulihan ekonomi?
Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) memprotes rencana pemerintah untuk menarik pajak dari pembelian bahan pokok. Ketua umum IKAPPI Abdullah Mansuri mengharapkan pemerintah agar menghentikan upaya bahan pokok sebagai objek pajak. Menurut dia pemerintah harus mempertimbangkan banyak hal sebelum benar-benar memberlakukan kebijakan tersebut.
"Apalagi kebijakan tersebut digulirkan pada masa pandemi dan situasi perekonomian saat ini yang sedang sulit," kata dia dalam keterangannya, Rabu (09/06).
Abdullah menjelaskan IKAPPI mencatat lebih dari 50% omzet pedagang pasar masih turun. Apalagi sekarang pemerintah belum mampu melakukan stabilitas bahan pangan pada beberapa bulan belakangan.
"Harga cabai bulan lalu hingga Rp 100.000, harga daging sapi belum stabil mau di bebanin PPN lagi? Gila... kami kesulitan jual karena ekonomi menurun dan daya beli masyarakat rendah. Mau ditambah PPN lagi, gimana tidak gulung tikar," jelas dia.
Anggota DPR RI Mufti Anam menyebut jika hal itu diberlakukan maka momentum pertumbuhan ekonomi yang saat ini berjalan akan terpukul. Ia menjelaskan saat ini ekonomi nasional sudah berada di momentum pemulihan.
"Tantangan kita ada pada upaya menahan laju kenaikan kasus aktif COVID-19. Daya beli perlahan tumbuh. Kalau kebutuhan pokok dikenakan PPN, berarti pemulihan ekonomi dipukul mundur," kata dia.
YLKI sebut rencana ini tidak manusiawi
Menurut Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi, wacana ini dianggap sebagai kebijakan yang tidak manusiawi, apalagi di tengah pandemi seperti sekarang, saat daya beli masyarakat sedang turun drastis.
"Pengenaan PPN akan menjadi beban baru bagi masyarakat dan konsumen, berupa kenaikan harga kebutuhan pokok. Belum lagi jika ada distorsi pasar, maka kenaikannya akan semakin tinggi," kata Tulus dalam keterangan tertulis, Kamis (10/06).
Ia mengatakan, pengenaan PPN pada bahan pangan juga bisa menjadi ancaman terhadap keamanan pasokan pangan pada masyarakat.
"Oleh karena itu, wacana ini harus dibatalkan. Pemerintah seharusnya lebih kreatif, jika alasannya untuk menggali pendapatan dana APBN," tambahnya.
Tulus usul ketimbang menerapkan PPN pada sembako, Pemerintah bisa menaikkan cukai rokok yang lebih signifikan. Menurutnya, dengan menaikkan cukai rokok, Pemerintah bisa dapat potensi pemasukan Rp 200 triliun lebih.
"Selain itu, akan berdampak positif terhadap masyarakat menengah bawah, agar mengurangi konsumsi rokoknya, dan mengalokasikan untuk keperluan bahan pangan.”
Post a Comment
Jangan Lupa untuk selalu komen di blog yunusst