Pilkada Serentak 2018 tentunya menjadi sebuah pelajaran yang sangat berharga bagi PDIP. Sebagai partai pemenang pemilu 2014, PDIP harus meneguk pil pahit di Pilkada Serentak ini. Terkhusus kekalahan PDIP di Jawa Timur yang merupakan basis PDIP atau istilahnya kandeng banteng.
Sudah sejak lama Jawa Timur dikatakan sebagai kendang banteng. Salah satu yang membuat PDIP mejadi raja disana adalah karena pengaruh nama Soekarno atau Soekarnoisme yang sangat kental di daerah tersebut. Namun Pilkada Serentak kali ini memperlihatkan pengaruh Soekarnoisme mulai pudar dan tergantikan dengan Jokowi-isme.
Analisanya sederhana, pertama terkait arahan Jokowi kepada Airlangga Hartarto untuk memenangkan Khofifah-Emil di Jawa Timur. Arahan tersebut dibuka oleh Airlangga beberapa hari menjelang hari pencoblosan di depan awak media. Pernyataan Airlangga terkait dukungan Jokowi tersebut ditenggarai ikut menentukan pasangan Khofifah-Emil.
Analisa kedua, yaitu tidak mempannya statement Megawati yang menjual isu Soekarnoisme ke tengah masyarakat Jawa Timur. Kendati Megawati menaikkan nama Puti Guntur Soekarno yang notabene cucu Soekarno, ternyata tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap pengaruh suara yang diperoleh.
Untuk memperbaiki perolehan suara PDIP di Pemilu 2019, sepertinya Megawati harus berpikir ulang terkait posisinya di PDIP. Jika Megawati tetap dengan arogansinya sebagai pemilik PDIP, maka kemungkinan PDIP akan tenggelam di 2019 akan semakin besar. Namun jika Megawati mau meregenerasi kepemimpinan PDIP ke tangan Jokowi, bisa jadi PDIP akan menjadi lebih besar.
Terkecuali, PDIP ingin membalas dendam atas pengkhianatan Jokowi di Pilkada Serentak 2018 ini. Hitung-hitungannya tentu harus matang. Terkait siapa dan berkoalisi dengan partai apa yang bisa menumbangkan Jokowi. Kemungkinan itu saat ini hanya melekat pada nama Prabowo Subianto.
Dalam beberapa jajak pendapat, nama Prabowo merupakan salah satu penantang kuat Jokowi di 2019. Prabowo juga merupakan salah satu patron gerakan 2019 ganti presiden. Wacana pertemuan Prabowo dengan elite PDIP pun sudah terdengar desas-desusnya semenjak sebelum lebaran kemaren.
Dalam dunia politik, tidak ada kata mustahil. Semuanya bersifat cair. Megawati dan Prabowo mempunyai sejarah kebersamaan yang cukup kuat dalam membentuk koalisi.
Pada tahun 2009, Megawati dan Prabowo pernah berpasangan maju sebagai capres dan cawapres. Namun, nasib baik belum berpihak kepada mereka. Pilpres 2009 dimenangkan oleh SBY untuk periode keduanya menjadi Presiden RI.
Kekompakan Megawati-Prabowo juga diperlihatkan pada saat Pilgub DKI Jakarta 2012. PDIP dan Gerindra berhasil mengantarkan Jokowi dan Ahok menjadi kampiun di DKI. Namun, kekompakan ini terhenti karena Prabowo merasa dikhianati oleh PDIP yang dianggapnya tidak menjalankan perjanjian Batu Tulis.
Jika ditelisik kebelakang, sebenarnya pada tahun 2014 posisi Megawati sebagai Ketua Umum PDIP terdesak oleh dukungan relawan Jokowi yang menekan Megawati untuk mengusung Jokowi menjadi Presiden. Artinya, dukungan PDIP terhadap Jokowi bisa dikatakan bukan keinginan murni Megawati. Oleh karena itu, Megawati sampai membuat kontrak tertulis dengan Jokowi yang dianggap sebagai petugas partai.
Untuk mengalahkan Jokowi di 2019, tentunya salah satu opsinya adalah mengembalikan koalisi PDIP dan Gerindra. PDIP bisa membayar kesalahannya dimasa lalu yang dianggap membohongi perjanjian Batu Tulis dengan megusung penuh Prabowo sebagai calon Presiden 2019. Untuk tetap mempertahankan eksistensinya, PDIP bisa mengusulkan Puan Maharani atau Budi Gunawan sebagai opsi calon wakil presiden Prabowo.
Agustus sudah semakin dekat. PDIP pun harus membuat keputusan yang tepat sekaligus tepat. Merelakan tonggak estafet PDIP ke Jokowi, atau merobohkan kedigdayaan Jokowi dengan kembali berkoalisi dengan Prabowo Subianto.
Badrun Johar, Pengamat Politik
Post a Comment
Jangan Lupa untuk selalu komen di blog yunusst