JAKARTA, KOMPAS.com — Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla berpendapat, Jemaah Ahmadiyah Indonesia atau JAI tidak harus diusir atau diasingkan demi menghindari bentrokan antarwarga meskipun dinyatakan sebagai paham sesat.
"Saya setuju Ahmadiyah sesat, tetapi tidak berarti harus diusir. Sesat, oke, saya terima. Tapi saya tidak bisa suruh polisi usir," kata Kalla dalam rapat dengar pendapat Komisi VIII DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (17/2/2011) malam.
Solusi untuk persoalan JAI yang pahamnya berbeda dengan Islam arus utama tersebut, kata Kalla, adalah dengan menghormati satu sama lain sesuai dengan amanat undang-undang. "Karena hukum agama masing-masing berbeda, kita ikuti hukum negara saja. Ketegasan mengamankan negeri ini," katanya.
Hukum tiap-tiap agama, seperti halnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk pengikutnya, menurut Kalla, tidak dapat dijadikan hukum positif. Hal itu termasuk fatwa MUI yang menyatakan bahwa Ahmadiyah sesat. "Hukum Islam pun tidak bisa jadi hukum positif. Katakan alkohol haram, tetapi tidak bisa dibuang begitu saja karena kita negara Pancasila," paparnya.
Ketua Umum Palang Merah Indonesia Pusat itu juga berpendapat, solusi untuk semua persoalan umat beragama di Indonesia, termasuk soal Ahmadiyah, tidak dapat ditarik satu kesimpulan. Solusi harus dilihat kasus per kasus. "Tidak ada satu solusi, tergantung masalahnya apa. Kaya dokter juga, apa keluhannya. Tidak berarti sakit kepala obatnya sama semua," ujarnya.
Oleh karena itu, harus dilihat dulu apa persoalan sebenarnya dalam setiap konflik berlatar belakang agama. Kalla mencontohkan perbedaan solusi untuk kasus kekerasan di Poso, Ambon, dan di Temanggung, Jawa Tengah. Menurut Kalla, permasalahan dalam konflik di Poso adalah persoalan politik. Warga non-Muslim merasa tidak mendapat keadilan ketika hampir semua pejabat Poso yang dipilih langsung beragama Islam. Padahal komposisi Muslim dan Nasrani di sana hampir seimbang. Adapun sebelum reformasi, kaum Nasrani selalu mendapat jabatan seimbang dalam pemerintahan.
"Zaman Pak Harto, Orde Baru, stabilitas dan harmoni diatur secara baik. Selalu kalau gubernurnya Islam, wakilnya Kristen. Jadi harmonis. Namun begitu reformasi pemilu langsung, karena penduduk lebih banyak Islam, semua gubernur, DPR, Islam," paparnya.
Berbeda dengan konflik di Temanggung yang dipicu ketidakpuasan warga dengan putusan hakim dalam sidang penistaan agama. "Kalau di Temanggung, saya kira masalahnya ada sekelompok orang tidak menerima keputusan hakim. Tidak ada solusi. Ya tergantung masalahnya, baru dicari solusinya," ujar Kalla.
"Saya setuju Ahmadiyah sesat, tetapi tidak berarti harus diusir. Sesat, oke, saya terima. Tapi saya tidak bisa suruh polisi usir," kata Kalla dalam rapat dengar pendapat Komisi VIII DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (17/2/2011) malam.
Solusi untuk persoalan JAI yang pahamnya berbeda dengan Islam arus utama tersebut, kata Kalla, adalah dengan menghormati satu sama lain sesuai dengan amanat undang-undang. "Karena hukum agama masing-masing berbeda, kita ikuti hukum negara saja. Ketegasan mengamankan negeri ini," katanya.
Hukum tiap-tiap agama, seperti halnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk pengikutnya, menurut Kalla, tidak dapat dijadikan hukum positif. Hal itu termasuk fatwa MUI yang menyatakan bahwa Ahmadiyah sesat. "Hukum Islam pun tidak bisa jadi hukum positif. Katakan alkohol haram, tetapi tidak bisa dibuang begitu saja karena kita negara Pancasila," paparnya.
Ketua Umum Palang Merah Indonesia Pusat itu juga berpendapat, solusi untuk semua persoalan umat beragama di Indonesia, termasuk soal Ahmadiyah, tidak dapat ditarik satu kesimpulan. Solusi harus dilihat kasus per kasus. "Tidak ada satu solusi, tergantung masalahnya apa. Kaya dokter juga, apa keluhannya. Tidak berarti sakit kepala obatnya sama semua," ujarnya.
Oleh karena itu, harus dilihat dulu apa persoalan sebenarnya dalam setiap konflik berlatar belakang agama. Kalla mencontohkan perbedaan solusi untuk kasus kekerasan di Poso, Ambon, dan di Temanggung, Jawa Tengah. Menurut Kalla, permasalahan dalam konflik di Poso adalah persoalan politik. Warga non-Muslim merasa tidak mendapat keadilan ketika hampir semua pejabat Poso yang dipilih langsung beragama Islam. Padahal komposisi Muslim dan Nasrani di sana hampir seimbang. Adapun sebelum reformasi, kaum Nasrani selalu mendapat jabatan seimbang dalam pemerintahan.
"Zaman Pak Harto, Orde Baru, stabilitas dan harmoni diatur secara baik. Selalu kalau gubernurnya Islam, wakilnya Kristen. Jadi harmonis. Namun begitu reformasi pemilu langsung, karena penduduk lebih banyak Islam, semua gubernur, DPR, Islam," paparnya.
Berbeda dengan konflik di Temanggung yang dipicu ketidakpuasan warga dengan putusan hakim dalam sidang penistaan agama. "Kalau di Temanggung, saya kira masalahnya ada sekelompok orang tidak menerima keputusan hakim. Tidak ada solusi. Ya tergantung masalahnya, baru dicari solusinya," ujar Kalla.
parah jk dkung ahmadiyah yg jelas2 sesat dan menyesatkan!!!!!!!!!!!
ReplyDeletePost a Comment
Jangan Lupa untuk selalu komen di blog yunusst